Anak muda hari ini sering diminta untuk kritis. Mereka didorong aktif, peka terhadap ketimpangan, dan berani menyuarakan kegelisahan. Media sosial lalu menjadi panggung paling mudah dijangkau—cukup dengan ponsel dan koneksi internet.
Namun, di balik kemudahan itu, ada pelajaran tak tertulis yang perlahan dipahami: bersuara tidak selalu aman.
Aktivisme digital tumbuh karena saluran formal dianggap lambat, berjarak, dan sering terasa tidak mendengar. Ketika aspirasi sulit menembus ruang-ruang resmi, media sosial menjadi jalan pintas. Di sana, kritik bisa viral, satire bisa menyebar, dan isu yang lama terpendam tiba-tiba mendapat perhatian.
Masalahnya, perhatian tidak selalu berarti perlindungan.
Ketika Unggahan Berubah Menjadi Masalah
Dalam beberapa tahun terakhir, publik berkali-kali disuguhi cerita anak muda yang dipanggil, diperiksa, atau diminta klarifikasi karena unggahan di media sosial. Ada yang bermula dari komentar, ada yang dari meme, ada pula dari kritik panjang yang ditulis dengan niat memperbaiki.
Sebagian berakhir tanpa proses hukum. Sebagian lainnya berlanjut. Polanya serupa: kritik dianggap bermasalah, satire dipahami harfiah, dan ekspresi dinilai melampaui batas.
Di titik ini, anak muda mulai belajar bahwa niat baik tidak selalu cukup. Yang diuji bukan hanya apa yang dikatakan, tetapi bagaimana ia ditafsirkan.
Satire Tidak Selalu Dipahami Pasal
Anak muda punya cara bicara sendiri. Mereka terbiasa dengan simbol, ironi, dan humor gelap. Satire menjadi alat untuk menyampaikan kritik tanpa berteriak. Sayangnya, bahasa seperti ini sering kali tidak akrab dengan logika hukum yang kaku.
Apa yang dimaksudkan sebagai sindiran, bisa dibaca sebagai serangan. Apa yang diniatkan sebagai kritik kebijakan, bisa dipersepsikan sebagai persoalan personal. Dari sini, ruang abu-abu terbuka lebar.
Akibatnya, banyak yang mulai menahan diri. Bukan karena tidak peduli, tetapi karena sadar risikonya nyata.

