Jakarta — Kepala Pemandu Bakat PSSI, Simon Tahamata, menilai proses seleksi pemain bertalenta di Indonesia masih tertinggal dan dilakukan terlalu lambat dibandingkan negara-negara Eropa.
Menurut Simon, pemantauan dan seleksi bakat di Indonesia umumnya baru dimulai saat pemain berusia sekitar 13 tahun. Hal ini berbeda dengan di Eropa, di mana proses seleksi sudah dilakukan sejak anak-anak berusia delapan tahun.
Pernyataan tersebut disampaikan Simon dalam wawancara dengan PSSI, yang dirilis pada Jumat (7/11). Simon sendiri mulai menjabat sebagai Kepala Pemandu Bakat PSSI sejak Mei 2025.
“Di Belanda sejak usia delapan tahun sudah ada seleksi bagi calon-calon pemain masa depan. Di Indonesia, terus terang, sudah terlambat. Bikin seleksi dengan umur lebih muda lagi,” ujar Simon.
Ia menambahkan, proses seleksi di Indonesia saat ini dimulai dari usia 13–14 tahun, namun idealnya dilakukan sejak usia dini sebagaimana sistem yang diterapkan di Eropa.
“Secara perlahan dan harus kita ikuti seperti di Eropa yaitu sejak 8 tahun. Namun butuh waktu dan mesti sabar sedikit,” lanjutnya.
Mantan pemain Ajax Amsterdam itu juga menilai bahwa fase terbaik untuk mengenalkan dasar-dasar sepak bola adalah di bawah usia delapan tahun. Menurutnya, masa tersebut merupakan periode krusial dalam pembentukan karakter dan kemampuan teknik pemain.
Jika anak sudah diperkenalkan dengan teknik dasar sepak bola sejak usia lima tahun, maka talenta mereka dapat diukur dan diarahkan lebih baik ketika memasuki usia delapan tahun.
“Itu bisa dicoba karena perkenalan dasar di usia paling dini sangat penting sehingga di usia 13–14 tahun, kita sudah tahu apakah pemain muda ini berbakat atau tidak,” tutup Simon.

