Oleh: Moh Sahrul Lakoro (Ketua Umum DPC PERMAHI Gorontalo)
Nama Bjorka kembali menghantui ruang digital Indonesia. Sosok misterius yang kerap mengklaim kebocoran data pemerintah ini menjadi fenomena tersendiri. Setiap kali muncul, publik panik, media ramai, dan pemerintah sibuk menenangkan situasi dengan janji memperkuat sistem keamanan siber nasional.
Namun di balik kepanikan itu, muncul pertanyaan mendasar yang jarang disorot: apakah isu Bjorka benar-benar murni ancaman siber, atau justru bagian dari permainan politik dan ekonomi yang lebih besar?
Isu Keamanan yang Disulap Jadi Legitimasi Politik
Dalam teori securitization, isu keamanan sering dijadikan alat untuk membentuk legitimasi kebijakan tertentu. Pemerintah dapat “menyulap” ancaman menjadi alasan untuk mengesahkan kebijakan yang sebenarnya bersifat politis atau ekonomis. Pola ini tampak dalam setiap kemunculan Bjorka: negara mengklaim dirinya dalam kondisi darurat siber, lalu memunculkan narasi perlunya kerja sama internasional khususnya dengan Amerika Serikat di bidang keamanan digital dan perdagangan data.
Kebetulan, pada 2025 ini, pembahasan mengenai Kerangka Kerja Perdagangan Digital Indonesia–AS (Digital Economic Framework) sedang berlangsung. Kesepakatan tersebut mencakup klausul penting tentang cross-border data flow, yakni aliran data lintas batas negara.
Jika disusun secara kronologis, isu kebocoran data nasional yang berulang justru muncul berdekatan dengan agenda perundingan itu. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa narasi “Indonesia dalam darurat siber” dapat berfungsi sebagai alat propaganda untuk melunakkan resistensi publik terhadap perjanjian yang sebenarnya berpotensi melemahkan kedaulatan digital nasional.