Transformasi pendidikan tinggi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan arah yang jelas: otonomi kampus melalui status Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH). UI, UGM, dan ITB adalah contoh universitas yang sudah lebih dulu menjalani perubahan ini. Dan kini, giliran Universitas Sumatera Utara (USU) untuk menyelaraskan diri agar bisa berkompetisi di level nasional dan internasional.
Salah satu aspek penting yang patut ditinjau ulang adalah persyaratan pencalonan rektor. Saat ini, di USU, salah satu syarat utama untuk mencalonkan diri sebagai rektor adalah harus memiliki jabatan akademik Lektor Kepala. Namun pertanyaannya: apakah syarat ini masih relevan?
Di era sekarang, tantangan yang dihadapi perguruan tinggi jauh lebih kompleks daripada sekadar urusan akademik. Kepemimpinan universitas dituntut untuk mampu membaca perubahan global, mendorong inovasi, mengelola sumber daya, serta menjalin kolaborasi nasional dan internasional. Maka, kemampuan manajerial, visi strategis, dan rekam jejak kepemimpinan menjadi jauh lebih penting dari sekadar jenjang akademik formal.
Lihat saja UI, UGM, dan ITB. Mereka tidak lagi terpaku pada syarat jabatan akademik tertentu. Gelar doktor memang masih diwajibkan, tetapi Lektor Kepala tidak menjadi prasyarat mutlak. Justru, mereka lebih menekankan pada kemampuan calon untuk membawa universitas ke arah yang lebih baik: apakah ia punya visi? Apakah ia pernah berhasil memimpin? Apakah ia bisa membangun kolaborasi lintas sektor?
Maka dari itu, USU sebaiknya segera mengikuti jejak universitas PTNBH tersebut. Menghapus syarat Lektor Kepala tidak berarti menurunkan standar, melainkan membuka ruang bagi lebih banyak tokoh potensial yang mungkin selama ini terhalang aturan administratif. Banyak figur dengan latar belakang manajerial, profesional, atau akademik luar biasa yang tidak bisa maju hanya karena belum menyandang jabatan Lektor Kepala — padahal kemampuan kepemimpinannya tidak diragukan.
Tentu, perubahan ini tetap harus dibarengi dengan seleksi ketat. Integritas akademik, kemampuan berpikir strategis, dan pengalaman tetap harus diuji. Namun, jangan biarkan aturan lama menjadi penghalang regenerasi kepemimpinan yang lebih segar dan relevan.
Selain itu, proses pemilihan rektor di USU juga perlu ditunjang dengan sistem digital (ICT) yang transparan dan modern. Pemanfaatan teknologi dalam proses seleksi akan menambah kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap institusi ini.
Sudah saatnya USU mempersiapkan diri menjadi universitas masa depan: adaptif, inovatif, terbuka terhadap perubahan, dan dipimpin oleh figur-figur terbaik dari berbagai latar belakang. Persyaratan yang lebih fleksibel bukan berarti menurunkan kualitas, melainkan langkah maju untuk menciptakan kompetisi yang lebih sehat dan inklusif.