Keputusan keuangan, khususnya terkait investasi di pasar saham, sering kali tidak hanya dipengaruhi oleh logika dan analisis, tetapi juga oleh faktor emosional. Salah satu bentuknya adalah bias emosional, yaitu kecenderungan atau preferensi psikologis yang dapat mengganggu objektivitas dalam pengambilan keputusan finansial.

Dalam konteks investasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), bias emosional ini kerap memicu keputusan-keputusan yang berisiko, bahkan dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan. Artikel ini mengulas empat bentuk bias emosional yang paling umum terjadi di kalangan investor saham, berdasarkan kajian dari behavioral finance—ilmu yang mempelajari pengaruh psikologi terhadap keputusan keuangan.

1. Loss Aversion: Enggan Mengakui Kerugian

Bias pertama adalah kecenderungan untuk menghindari kerugian, dikenal sebagai loss aversion. Investor seringkali enggan melakukan cut loss, karena merasa gagal jika menjual saham di harga yang lebih rendah dari harga beli. Padahal, dalam dunia saham, potensi rugi dan untung selalu ada.

Misalnya, seorang investor sukses meraih keuntungan dalam empat kali transaksi saham. Namun pada transaksi kelima, harga saham anjlok. Meski semua indikator menyarankan untuk menjual, investor tetap bertahan karena tak ingin catatan keuntungannya “tercemar” oleh kerugian. Akhirnya, kerugian malah semakin besar.

2. Overconfidence: Terlalu Percaya Diri

Bias kedua muncul saat investor terlalu yakin pada kemampuannya menilai saham. Contohnya, hanya karena sebuah saham pernah pulih dari penurunan drastis di masa lalu (bounced back), investor kembali membelinya tanpa mempertimbangkan faktor fundamental perusahaan yang mungkin telah berubah.

Jika harga saham jatuh akibat penurunan daya saing perusahaan—misalnya, akibat serbuan produk impor—maka peluang untuk pulih belum tentu sebesar sebelumnya. Ketergantungan pada data historis tanpa evaluasi menyeluruh justru bisa menyesatkan.