Selain itu, kesenjangan tersebut berpotensi melahirkan ketidakadilan struktural. Kelompok masyarakat yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan sumber daya lebih mampu memanfaatkan hukum tertulis, sementara kelompok marginal sering kali bergantung pada hukum yang hidup di masyarakat. Ketika hukum formal mengabaikan realitas sosial, hukum justru menjadi alat dominasi, bukan sarana keadilan.
Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menghambat pembangunan hukum nasional. Hukum yang tidak efektif dan tidak legitimate akan sulit berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial. Alih-alih mendorong perubahan sosial ke arah yang lebih baik, hukum justru tertinggal dan kehilangan relevansinya.
Upaya Menjembatani Kesenjangan
Untuk menjembatani kesenjangan antara hukum tertulis dan hukum yang hidup di masyarakat, diperlukan pendekatan yang lebih responsif dan inklusif dalam pembentukan dan penegakan hukum.
Pertama, penguatan partisipasi publik dalam proses legislasi. Masyarakat perlu dilibatkan secara bermakna agar hukum yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan nilai sosial. Partisipasi ini tidak hanya bersifat formal, tetapi juga substantif.
Kedua, pengakuan dan integrasi hukum adat dan norma sosial ke dalam sistem hukum nasional. Negara perlu memberikan ruang yang lebih luas bagi living law untuk berfungsi, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan konstitusi.
Ketiga, reformasi penegakan hukum yang berorientasi pada keadilan substantif. Aparat penegak hukum perlu memahami konteks sosial di balik suatu peristiwa hukum, sehingga penerapan hukum tidak semata-mata bersifat mekanis, tetapi juga mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

