Konsep Hukum Tertulis dan Hukum yang Hidup di Masyarakat

Hukum tertulis merupakan hukum yang dibentuk melalui mekanisme formal kenegaraan, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan berbagai produk hukum lainnya. Hukum ini bersifat mengikat secara yuridis, memiliki kepastian formal, dan dapat dipaksakan melalui aparat penegak hukum. Dalam tradisi positivisme hukum, hukum tertulis dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum yang sah, karena lahir dari otoritas yang berwenang.

Sebaliknya, hukum yang hidup di masyarakat atau living law merujuk pada norma, kebiasaan, dan nilai yang secara nyata dipraktikkan dan ditaati oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Konsep ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Eugen Ehrlich yang menegaskan bahwa pusat perkembangan hukum tidak selalu berada pada undang-undang atau putusan pengadilan, melainkan pada masyarakat itu sendiri. Hukum yang hidup mencerminkan rasa keadilan, kepatutan, dan kepentingan sosial yang berkembang secara dinamis.

Di Indonesia, konsep living law sering dikaitkan dengan hukum adat. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit mengakui keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan konstitusional ini menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia secara normatif mengakui pluralitas hukum. Namun, dalam praktiknya, pengakuan tersebut sering kali bersifat simbolik dan belum sepenuhnya terintegrasi dalam penegakan hukum.