Kandidat yang dianggap “dermawan”, “loyal”, atau “peduli” melalui pemberian materi memperoleh legitimasi politis. Dampaknya, pemilih tidak lagi menilai program, visi, atau integritas kandidat, melainkan seberapa besar materi yang diberikan. Dalam jangka panjang, pola ini membentuk budaya politik transaksional yang sulit diubah.
3. Identitas Kolektif dan Keterikatan Simbolik
Dalam masyarakat tertentu, politik uang juga terkait dengan simbol identitas, seperti kedekatan darah, wilayah, atau agama. Kandidat yang berasal dari kelompok identitas yang sama dianggap lebih pantas menerima dukungan, dan pemberian uang memperkuat keterikatan simbolik ini. Antropologi memandang ini sebagai bentuk integrasi antara ekonomi moral dan identitas sosial, di mana keputusan politik mencerminkan loyalitas komunal, bukan rasionalitas individual.
Kampanye sebagai Arena Produksi Budaya Politik
Kampanye politik bukan hanya proses penyampaian program, melainkan arena pembentukan budaya politik. Pasangan calon menggunakan berbagai strategi simbolik dan material untuk menciptakan citra yang sesuai dengan harapan masyarakat. Dalam banyak kasus, kampanye terbuka menjadi ruang untuk mempraktikkan politik uang secara halus, seperti pembagian sembako, uang transport, hiburan gratis, atau bakti sosial.
Antropologi melihat kampanye sebagai ritual politik, yaitu suatu proses simbolik yang menegaskan relasi kekuasaan dan makna sosial. Ritual ini melibatkan pertemuan fisik, pidato, simbol visual, dan pemberian hadiah yang bersama-sama membangun narasi tentang kandidat. Politik uang kemudian dipahami bukan sekadar transaksi, tetapi bagian dari ritual patronase yang telah membudaya.

