Politik uang (money politics) dan budaya kampanye merupakan fenomena yang berulang dalam pemilihan umum di Indonesia. Pendekatan antropologis membuka ruang analisis yang menempatkan politik uang bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi sebagai praktik sosial yang berakar pada logika timbal-balik, struktur ekonomi lokal, modal simbolik, dan cara komunitas memaknai hubungan kekuasaan dan patronase. Dalam konteks kampanye, ritual-ritual, simbol-simbol, dan strategi komunikasi juga membentuk kultur politik yang seringkali berinteraksi dengan praktik politik uang baik sebagai penyertanya maupun sebagai respon terhadapnya.

Antropologi politik menawarkan konsep-konsep penting untuk membaca fenomena politik uang: patronase, kekerabatan politik, reciprocity (timbal balik), dan legitimasi lokal. Konsep “ekonomi moral” (moral economy) juga membantu menjelaskan mengapa praktik transaksi suara dapat dipahami oleh sebagian aktor sebagai tindakan yang dapat dibenarkan berdasarkan norma-norma lokal tentang saling bantu dan balas jasa. Sementara itu, antropologi simbolik menyorot bagaimana pemberian materi dalam kampanye dimaknai melalui simbol, ritual, dan estetika kampanye, misalnya pemberian sembako atau uang yang dikemas dalam acara “silaturahmi” atau “gotong royong” sehingga mendapat legitimasi budaya. Pendekatan etnografis yang panjang memungkinkan pengungkapan narasi actor mengapa pemilih menerima imbalan, bagaimana calon menilai kebutuhan politik lokal, dan bagaimana tokoh perantara (broker) memainkan peran kunci dalam mempertemukan logika pasar politik dan norma sosial setempat.