“Kami mengikuti seluruh regulasi pemerintah. Dalam kunjungan Kakantah ATR/BPN Tanjab Barat pada 20 Mei 2025 lalu, kami sudah menjelaskan bahwa semua langkah kami dilakukan sesuai peraturan yang berlaku,” ujar Joko.
Namun, pernyataan tersebut tidak meredakan kekecewaan masyarakat adat. Mereka menilai langkah PT DAS justru mengabaikan eksistensi hak ulayat yang telah ada jauh sebelum perusahaan berdiri.
Pihak adat menegaskan, Dubalang Barempat Gedang Batujuh tidak hanya menjadi simbol Penegak Hukum Adat di Dalam jajaran struktur naungan PERDA LAM Provinsi Jambi No. 2 Tahun 2014, tetapi juga garda terdepan dalam menjaga kedaulatan masyarakat hukum adat terhadap tanah dan marwah leluhur.
“Ketika negara hadir dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang mengakui keberadaan masyarakat adat, maka adat pun memiliki mekanisme keadilan sendiri. Adat tidak boleh dipinggirkan oleh kepentingan ekonomi,” ungkap salah satu anggota Dubalang Barempat Gedang Batujuh dengan nada tegas.
Dalam waktu dekat, Penegak Hukum Adat Melayu Jambi Desa Badang dijadwalkan akan melakukan pemanggilan resmi terhadap pihak PT DAS dan pihak-pihak yang dianggap melanggar hukum adat. Langkah ini disebut sebagai upaya penyelesaian secara hukum Adat.melalui mekanisme di LPPD Badang.
Pengamat adat menilai, kasus ini berpotensi menjadi preseden penting bagi penegakan hukum adat di Provinsi Jambi, sekaligus menguji sejauh mana pemerintah dan korporasi menghormati kedaulatan masyarakat adat dalam konteks pembangunan dan investasi. (*)