Fee itu sulit dibuktikan karena tidak ada yang mau mengaku, kecuali peserta yang kalah. Besarannya bisa mencapai lima persen, tergantung seberapa besar pemotongan dari HPS,” ungkapnya.

Sebagai contoh, Nasruddin menyinggung proyek Preservasi Jalan Banda Aceh–Krueng Raya–Blang Bintang–Kota Banda Aceh Tahap II. Ia menyebut penawaran terendah dari PT Mitra Buana justru digugurkan oleh Pokja dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan menambah persyaratan di luar ketentuan Surat Edaran Dirjen Bina Marga Nomor 08/SE/Db/2025.

“Dalam SE itu disebutkan pengalaman kerja yang disyaratkan bersifat umum di bidang konstruksi, bukan hanya pekerjaan jalan. Tapi Pokja menafsirkan lain demi menggugurkan peserta tertentu,” ujarnya.

Nasruddin menegaskan, mekanisme tender konvensional jauh lebih transparan dibanding e-Katalog, karena seluruh nilai penawaran dan hasil evaluasi dapat diakses publik.

“Kalau tender, semua terbuka, nilai penawaran, peserta, hingga hasil evaluasi. Jadi meski tetap ada peluang penyimpangan, ruang pengawasan publik lebih besar dibanding e-Katalog,” pungkasnya. (*)