Ekspansi Pembangunan Berisiko
China tengah giat membangun bendungan raksasa dan infrastruktur energi di wilayah Tibet. Laporan dari International Campaign for Tibet memperingatkan bahwa proyek-proyek tersebut berisiko menggusur lebih dari sejuta penduduk dan menghapus situs budaya bersejarah.
Para peneliti juga memperingatkan potensi bencana berantai akibat gempa, longsor, dan ketidakstabilan bendungan di kawasan yang rawan seismik.
“Pembangunan di kawasan gletser yang rapuh ini adalah perjudian ekologis,” tulis salah satu laporan analisis lingkungan independen.
Retorika Hijau yang Dipertanyakan
Ironisnya, di tengah kritik global tersebut, Presiden Xi Jinping pada Sidang Umum PBB September 2025 berjanji menurunkan emisi karbon China hingga 7–10 persen pada 2035. Padahal, China masih menjadi penyumbang emisi terbesar dunia, sekitar 30 persen dari total global, dan terus membangun pembangkit listrik tenaga batu bara.
Kontradiksi ini memperlihatkan jurang antara retorika hijau yang disampaikan Beijing di panggung internasional dan praktik nyata di dalam negeri.
“Jika China benar-benar ingin menjadi pemimpin iklim global, maka seharusnya menghentikan proyek bendungan berisiko di Tibet, mengakhiri relokasi paksa, dan membuka akses bagi penilaian lingkungan independen,” ujar laporan lembaga pengamat iklim Asia.
Simbol Kemunafikan Ekologis
Kembang api di langit Shigatse kini menjadi simbol paradoks: upaya menampilkan keindahan dan kemajuan, tetapi menyembunyikan luka ekologis di baliknya.
Permintaan maaf dari Arc’teryx dan Cai Guo-Qiang disebut hanya menjadi penenang sesaat. Sementara Beijing terus melanjutkan pola lama—memamerkan citra hijau di luar negeri, namun mengabaikan realitas ekologis dan kemanusiaan di dalam negeri.
Tanpa perubahan kebijakan nyata, pertunjukan “Rising Dragon” akan dikenang bukan sebagai karya seni spektakuler, melainkan sebagai metafora kemunafikan iklim China di dataran tinggi Tibet.