Jakarta — Pertunjukan kembang api berbentuk naga yang digelar di dataran tinggi Shigatse, Tibet, memicu gelombang kritik tajam dari publik dan pemerhati lingkungan.
Acara bertajuk “Rising Dragon” itu diselenggarakan oleh perusahaan asal China, Arc’teryx, bekerja sama dengan seniman kembang api ternama Cai Guo-Qiang, yang sebelumnya merancang pesta kembang api Olimpiade Beijing 2008.
Pertunjukan yang dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap budaya pegunungan Tibet justru dinilai abai terhadap dampak ekologis. Diadakan pada ketinggian 5.500 meter di atas permukaan laut, perhelatan itu melepaskan asap, kebisingan, dan residu kimia di wilayah yang dikenal sebagai salah satu ekosistem paling rapuh di dunia.
Kritik atas Dampak Lingkungan
Pejabat lingkungan setempat berdalih bahwa bahan kembang api yang digunakan bersifat “ramah lingkungan” dan pertunjukan dilakukan di luar kawasan lindung. Namun para ahli menegaskan, di dataran tinggi seperti Tibet, proses penguraian limbah berlangsung sangat lambat sehingga residu bisa bertahan hingga bertahun-tahun.
Tibet dikenal sebagai “Kutub Ketiga Dunia”, karena gletsernya menjadi sumber air bagi sungai-sungai besar Asia yang menopang hampir dua miliar manusia. Kerusakan di wilayah ini berpotensi menimbulkan dampak lintas negara.
Alih-alih meningkatkan kesadaran budaya, acara tersebut justru memperlihatkan sikap pengabaian terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. Pemerintah China dinilai terus memanfaatkan Tibet sebagai wilayah eksploitasi militer, ekonomi, dan pariwisata, sementara warga Tibet tetap terpinggirkan.