Jakarta — Gerakan yang dipimpin oleh generasi muda atau Gen Z di Madagaskar menolak ajakan dialog dengan Presiden Andry Rajoelina. Mereka justru menyerukan aksi mogok kerja dan demonstrasi nasional baru pada Kamis (9/10).
Rajoelina sebelumnya membubarkan pemerintahannya pekan lalu dan menunjuk seorang jenderal angkatan darat sebagai perdana menteri pada Senin. Ia juga menggelar pertemuan publik di Istana Presiden pada Rabu (8/10), namun acara tersebut mendapat cibiran dari para pengunjuk rasa muda.
“Kami menolak dialog palsu ini,” tulis kelompok tersebut melalui media sosial, dikutip dari AFP.
Salah satu pemimpin mahasiswa yang hadir dalam pertemuan itu menyampaikan kritik langsung kepada presiden berusia 51 tahun tersebut. Ia menyoroti meningkatnya kemiskinan akibat maraknya korupsi di pemerintahan.
“Mahasiswa tidak bisa fokus belajar karena kurangnya penerangan. Tidak ada air. Bahkan ada tikus di tempat kami tidur,” ungkapnya dalam pidato penuh emosi yang disambut tepuk tangan sekitar 1.000 peserta yang hadir.
Beberapa pembicara lain menuturkan keluh kesah pribadi, seperti anggota keluarga yang dipenjara atau anak yang menganggur. Seluruh percakapan tersebut disiarkan secara langsung melalui radio dan televisi nasional.
Menanggapi kritik tersebut, Rajoelina berjanji akan mengundurkan diri apabila ibu kota Madagaskar masih mengalami pemadaman listrik dalam waktu satu tahun. Ia juga menunjuk sejumlah menteri baru yang akan memimpin tiga portofolio penting, yakni militer, keamanan publik, dan kepolisian. Presiden menegaskan bahwa negara membutuhkan kedamaian, bukan lagi kekacauan.
Gerakan yang terdiri dari sekitar 20 kelompok itu telah menyerahkan daftar tuntutan kepada pemerintah. Beberapa di antaranya meliputi permintaan maaf publik atas kekerasan terhadap pengunjuk rasa, perombakan Mahkamah Konstitusi, serta pembubaran Senat atau pemecatan ketuanya, Richard Ravalomanana, yang merupakan mantan jenderal polisi.
Sejak pekan lalu, ribuan anak muda di berbagai wilayah Madagaskar turun ke jalan memprotes pemadaman listrik dan air. Aksi tersebut berkembang menjadi demonstrasi besar karena meningkatnya kemiskinan yang semakin menekan kehidupan masyarakat.
Menurut laporan Deutsche Welle (DW), sejumlah demonstran membawa spanduk bertuliskan “Kami ingin hidup, bukan bertahan hidup.”
Berdasarkan data World Bank, sekitar 75 persen dari 30 juta penduduk Madagaskar hidup di bawah garis kemiskinan. Negara kepulauan di lepas pantai tenggara Afrika itu termasuk salah satu yang termiskin di kawasan.
Hanya sekitar 36 persen warga yang memiliki akses terhadap listrik, dan pasokan energi tersebut pun tidak stabil karena sering terjadi pemadaman berjam-jam setiap hari.
Aksi protes yang berlangsung di Madagaskar berujung rusuh. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sedikitnya 22 orang tewas dalam bentrokan tersebut. Sejumlah supermarket, toko kecil, bank, hingga rumah milik politisi menjadi sasaran amukan massa.