Jakarta — Di balik kemajuan ekonomi dan keunggulan teknologinya, China kian gencar membangun ekosistem pengawasan publik yang memadukan kontrol negara dengan kepentingan komersial.
Partai Komunis China (PKC), yang sejak lama dikenal mengendalikan arus informasi, kini melibatkan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur digital yang berorientasi pada keamanan sekaligus pasar global.
Bocoran lebih dari 500GB dokumen internal dari perusahaan Geedge Networks dan GoLaxy menyingkap ambisi industri pengawasan China yang semakin kompleks.
Dua perusahaan tersebut tidak hanya melayani kebutuhan negara, tetapi juga bersaing merebut kontrak, berinovasi, hingga mengekspor teknologi represi sebagai produk. Kebijakan PKC melahirkan kelas baru otoritarianisme digital: wirausahawan sensor, insinyur propaganda, dan pedagang rasa takut.
Geedge Networks, yang awalnya dikenal sebagai penyedia keamanan siber, ternyata menjadi arsitek utama infrastruktur sensor China. Produk unggulannya, Tiangou Secure Gateway, merupakan firewall siap pakai yang dapat memblokir VPN, melakukan fingerprinting perangkat, menganalisis metadata, hingga menerapkan kontrol akses berbasis “reputasi”. Sistem ini memberi peringkat pada pengguna berdasarkan perilaku mereka dan dapat membatasi hak akses internet.
Lewat dashboard yang sederhana, pejabat non-teknis bahkan bisa memantau lokasi, aplikasi, dan aktivitas jaringan pengguna secara real-time.
Tak hanya digunakan di dalam negeri, teknologi ini juga diekspor ke berbagai negara seperti Pakistan, Myanmar, Kazakhstan, dan Ethiopia melalui kerangka Belt and Road Initiative.
GoLaxy dan Propaganda Digital
Berbeda dengan Geedge, GoLaxy fokus pada manajemen persepsi dan propaganda. Sistemnya menggunakan kecerdasan buatan untuk menganalisis media sosial, memetakan hubungan antar-influencer, dan menghasilkan konten untuk kampanye terstruktur.
Dokumen bocoran menunjukkan pitch deck, target penjualan, hingga keluhan internal, yang menggambarkan bagaimana pemasaran berpadu dengan manipulasi. Teknologi ini mampu menyimulasikan dukungan akar rumput, mendiskreditkan pengkritik, serta membanjiri ruang digital dengan disinformasi.
Mesin propaganda PKC telah berevolusi, dari sekadar slogan dan poster menjadi bot otomatis dan dashboard canggih.
Ekspor Model Represi
Ekspor teknologi pengawasan ini menimbulkan kekhawatiran global. Negara-negara dengan rezim otoriter atau instabilitas politik, mulai dari Iran hingga sejumlah negara Afrika, semakin mengandalkan perusahaan China untuk infrastruktur digital mereka.
Strategi ekspor ini bukan hanya soal bisnis, tetapi juga bagian dari ambisi geopolitik PKC. Dengan menanamkan teknologi ke dalam sistem pemerintahan negara lain, China memperluas pengaruh ideologis dan menciptakan ketergantungan yang melemahkan norma demokrasi.
Perusahaan teknologi di China pun dinilai lebih dihargai karena kepatuhan ideologis dibanding sekadar keunggulan teknis. Kontrak dipengaruhi loyalitas pada partai, hubungan akademis, hingga manfaat politik.
Tantangan Bagi Demokrasi
Kondisi ini membentuk lingkaran umpan balik berbahaya: semakin perusahaan bersaing membangun alat kontrol, semakin kuat pula sarana represi yang dimiliki PKC. Ketika produk tersebut laku di pasar internasional, investasi dan ekspansi makin sulit dihentikan.
Kompleks industri-pengawasan China kini menjadi ancaman multidimensi bagi demokrasi. Modelnya modular, komersial, dan adaptif, sehingga mudah berkembang lintas batas. Perpaduan kontrol negara dan sektor swasta mengaburkan batas antara publik-pribadi, domestik-asing, serta keamanan-perdagangan.
Untuk merespons, negara demokratis perlu memperkuat ketahanan digital, mendiversifikasi rantai pasok, mendukung solusi open-source, serta mendorong kerja sama multilateral guna mengatur ekspor otoritarianisme.
Tanpa langkah strategis, model otoritarianisme teknologi ala China berpotensi terus meluas, menjelma sebagai ancaman serius bagi kedaulatan masyarakat terbuka di seluruh dunia.