Sayangnya, diskursus ini jarang muncul dalam ruang publik. Wacana digital di Indonesia masih didominasi oleh isu teknis dan keamanan, bukan isu kedaulatan dan etika. Pemerintah seolah ingin menunjukkan kemampuan mengatasi hacker, tetapi belum menunjukkan keseriusan menjaga hak digital warga negara.
Dalam konteks global, banyak negara mulai menolak konsep cross-border data flow tanpa kontrol, karena dianggap mengancam kemandirian digital. India dan Brasil, misalnya, memperkuat kebijakan data localization agar data warga tetap disimpan di dalam negeri. Indonesia perlu meniru langkah serupa, bukan justru tergoda oleh janji investasi yang dibungkus kerja sama digital.
Membangun Kesadaran Publik
Kedaulatan digital tidak akan lahir dari pemerintah saja, melainkan dari kesadaran publik. Masyarakat harus memahami bahwa data pribadi adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dilindungi. Ketika data digunakan tanpa izin, itu bukan sekadar pelanggaran privasi melainkan bentuk kolonialisme baru dalam wujud digital.
Media juga punya peran penting untuk tidak terjebak dalam sensasi hacker semata. Liputan harus diarahkan pada substansi: siapa diuntungkan dari kebijakan digital nasional, dan bagaimana pengawasan publik terhadap perjanjian internasional dijalankan. Tanpa kontrol media dan akademisi, isu Bjorka akan terus menjadi alat pembenaran bagi agenda ekonomi yang tersembunyi.
Dari Ketakutan Menuju Kesadaran
Kasus Bjorka adalah cermin. Ia memperlihatkan betapa rapuhnya sistem digital negara, sekaligus betapa mudahnya ketakutan publik dimanfaatkan. Jika benar isu ini digunakan sebagai momentum untuk meloloskan kesepakatan dagang dengan AS, maka itu bukan sekadar kebijakan yang keliru, melainkan pengkhianatan terhadap kedaulatan data rakyat sendiri.