Bentuk propaganda semacam ini bukan hal baru. Dalam kajian media, fenomena ini disebut manufacturing consent istilah yang dipopulerkan Noam Chomsky. Pemerintah dan media secara tidak langsung membentuk persetujuan publik melalui narasi ancaman dan ketakutan. Dalam kasus Bjorka, rasa takut terhadap hacker digunakan untuk menciptakan legitimasi kebijakan ekonomi yang tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat.
Ketika Keamanan Mengorbankan Kedaulatan
Pemerintah tentu berhak memperkuat keamanan siber. Tetapi keamanan tidak boleh menjadi dalih untuk melemahkan kedaulatan. Ironisnya, kebijakan yang lahir dari isu kebocoran data justru berpotensi memperbesar ketergantungan Indonesia terhadap sistem dan standar keamanan global yang dikendalikan negara-negara maju.
Sejak 2022, pemerintah sudah memiliki UU Perlindungan Data Pribadi (PDP). Namun hingga kini, penegakan hukumnya lemah, dan mekanisme audit forensik atas setiap kebocoran data nyaris tak pernah dipublikasikan. Kasus Bjorka hanya berakhir pada penangkapan beberapa individu, tanpa kejelasan siapa aktor utama di baliknya.
Jika pemerintah serius menjaga keamanan data, seharusnya audit independen dilakukan secara terbuka, bukan hanya melalui pernyataan pers atau konferensi singkat. Tanpa transparansi, isu keamanan akan terus menjadi alat politik, bukan instrumen perlindungan publik.
Kedaulatan Digital: Pilar Baru Kemerdekaan
Isu Bjorka membawa kita pada refleksi yang lebih mendasar: bahwa kedaulatan di abad digital tidak lagi hanya soal wilayah darat, laut, dan udara tetapi juga tentang ruang data. Data rakyat adalah representasi identitas, perilaku, dan kehidupan sosial yang tak ternilai. Ketika data itu diperdagangkan, maka sesungguhnya yang diperjualbelikan adalah privasi dan kendali atas warga negara itu sendiri.