Data Sebagai Komoditas Geopolitik

Dalam era ekonomi digital, data adalah minyak baru. Ia menjadi komoditas paling strategis di abad ke-21. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok sedang berebut pengaruh dalam menentukan siapa yang menguasai arus data global. Indonesia, dengan 270 juta penduduk dan tingkat penetrasi internet yang tinggi, menjadi pasar data yang sangat potensial.

Bagi korporasi teknologi AS, seperti Google, Amazon, Meta, dan Microsoft, kebijakan cross-border data flow sangat menguntungkan. Dengan kebijakan itu, perusahaan asing bisa menyimpan, memproses, dan memanfaatkan data warga Indonesia di luar negeri tanpa kewajiban menyimpannya secara lokal.

Masalahnya, ketika data warga tersimpan di luar negeri, maka yurisdiksi hukum Indonesia melemah. Jika terjadi pelanggaran privasi atau kebocoran, mekanisme penyelesaiannya akan bergantung pada hukum negara tempat data itu disimpan yang tentu lebih berpihak pada kepentingan korporasi besar.

Isu Bjorka: Antara Hacker dan Hegemoni

Dalam konteks ini, kemunculan Bjorka bisa dibaca sebagai pengalih perhatian strategis. Fokus publik diarahkan pada sosok misterius dan sensasi kebocoran data, sementara kebijakan strategis seperti perjanjian dagang lintas data berlangsung tanpa pengawasan kritis.

Kita seolah menyaksikan drama nasional: pemerintah tampil sebagai korban dan pahlawan sekaligus, sedangkan rakyat diarahkan untuk percaya bahwa solusinya adalah memperkuat kerja sama digital dengan negara lain. Padahal, kerja sama itu justru bisa membuka pintu bagi eksploitasi data rakyat oleh kekuatan asing.