Jakarta — Gangguan penglihatan seperti mata minus pada anak tidak hanya berdampak pada kemampuan akademik, tetapi juga dapat memengaruhi kesehatan mental dan emosional mereka.

Dokter Spesialis Mata dari Yayasan Sentra Kolaborasi Kesehatan Nasional (YSKKN), Kianti Raisa Darusman, menjelaskan bahwa anak-anak dengan gangguan penglihatan memiliki risiko lebih tinggi mengalami kecemasan, kesedihan, dan kesulitan berkonsentrasi di sekolah.

“Anak dengan gangguan penglihatan berisiko mengalami masalah emosional seperti cemas, sedih, dan sulit fokus di sekolah,” ujar Kianti dalam kegiatan uji publik inovasi pemeriksaan mata dan jiwa anak Indonesia yang digelar Cermata di Jakarta, Kamis (10/10).

Hasil survei YSKKN terhadap lebih dari 1.200 pelajar SD dan SLB menunjukkan bahwa sekitar 40 persen anak mengalami gangguan penglihatan, dan dari jumlah tersebut 70 persen memperlihatkan gejala emosional.

“Masalahnya terlihat sederhana, tapi dampaknya besar. Anak bisa dianggap tidak fokus atau nakal, padahal sebenarnya mereka tidak dapat melihat dengan jelas,” kata Kianti.

Ia menuturkan, hubungan antara penglihatan dan kesehatan mental bersifat dua arah. Anak dengan penglihatan terganggu cenderung mengalami stres dan kehilangan kepercayaan diri. Sebaliknya, anak yang mengalami tekanan emosional juga berpotensi mengalami gangguan penglihatan.

“Penglihatan yang buruk dapat memengaruhi kondisi emosional, dan sebaliknya, stres atau kecemasan juga bisa memperburuk fungsi penglihatan,” jelasnya.

Karena itu, ia mendorong adanya skrining terpadu di sekolah yang menilai tidak hanya kondisi mata, tetapi juga kesehatan psikologis anak. Pendekatan holistik ini penting diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan dan kesehatan nasional, termasuk melalui Program Cek Kesehatan Gratis (CKG).

“Kami berharap hasil penelitian ini menjadi dasar bagi pemerintah untuk memperluas layanan deteksi dini kesehatan mata dan jiwa anak di sekolah-sekolah seluruh Indonesia,” ujarnya.

Anak Perempuan Lebih Rentan

Dari hasil penelitian yang sama, ditemukan bahwa anak perempuan memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi mengalami gangguan penglihatan dibandingkan anak laki-laki.

“Pelajar perempuan lebih banyak mengalami penurunan fungsi mata, keterbatasan aktivitas, dan gangguan sosial akibat kondisi tersebut,” ungkap Kianti.

Ia menjelaskan, salah satu penyebabnya adalah kebiasaan anak perempuan yang lebih sering beraktivitas di dalam ruangan, sedangkan aktivitas luar ruangan justru memiliki efek protektif terhadap risiko mata minus.

Selain itu, penggunaan gawai berlebihan juga menjadi faktor utama meningkatnya kasus rabun jauh.

“Sekitar 63 persen anak menggunakan gawai lebih dari dua jam per hari, sementara 55 persen memiliki aktivitas luar ruangan yang rendah,” paparnya.

Penelitian YSKKN juga menemukan bahwa anak-anak perempuan lebih sering mengalami tekanan emosional akibat kondisi mata mereka.

“Sebanyak 57 persen anak berkacamata melaporkan gejala kecemasan, dan 67 persen menunjukkan tanda-tanda depresi,” terang Kianti.

Ia menambahkan, stigma sosial terhadap penggunaan kacamata masih cukup kuat di kalangan pelajar perempuan. Banyak yang merasa malu menggunakan kacamata karena takut diejek atau dianggap kutubuku.

“Stigma ini tentu berpengaruh terhadap kepercayaan diri dan kesehatan mental mereka,” tegasnya.