Jika celah ini dibuka, maka preseden buruk akan tercipta: bahwa pelanggaran tata ruang tidak lagi harus ditindak, tetapi cukup dilegalkan dengan mengubah aturan. Logika ini bukan hanya membalik sistem hukum tata ruang, tetapi juga menurunkan derajat hukum lokal menjadi subordinat dari kepentingan korporasi. Dalam kerangka keadilan spasial (spatial justice), hal ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak konstitusional warga atas ruang hidup yang aman, sehat, dan berkelanjutan (Soja, 2010).
Lebih jauh, revisi RTRW demi mengakomodasi satu kepentingan privat akan mengaburkan posisi etis dan hukum pemerintah kota sebagai penjamin keadilan publik. Pemerintah kota tidak lagi menjadi penjaga tata ruang, tetapi berubah menjadi pengelola kompromi. Apalagi jika revisi tersebut dilakukan untuk menyesuaikan pelanggaran yang sudah terjadi, maka fungsi hukum sebagai pencegah (preventif) dan penindak (represif) hilang sama sekali. Hukum menjadi reaktif, bahkan transaksional.
Di sisi lain, Gubernur Jambi patut diapresiasi atas sikapnya yang merespons aspirasi masyarakat dengan cepat, terutama dalam dialog terbuka yang difasilitasi oleh Wali Kota Jambi pada 16 September 2025 di Rumah Dinas Wali Kota. Dalam forum tersebut, Gubernur mengambil keputusan menghentikan sementara aktivitas PT SAS sembari menunggu kejelasan dari otoritas perizinan di tingkat pusat dan proses hukum yang tengah berjalan. Ini adalah contoh sikap responsif dan pro-aspiratif, meskipun secara struktural, tanggung jawab utama tetap berada di tangan Wali Kota sebagai penegak Perda RTRW Kota Jambi.