Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi anggaran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) baru tersalur Rp13 triliun sejak Januari hingga 8 September 2025. Jumlah tersebut hanya 18,3 persen dari pagu Rp71 triliun yang dialokasikan sepanjang tahun ini, dengan penerima manfaat tercatat 22,7 juta orang.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyampaikan, hingga 8 September program MBG dilayani 7.644 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
“MBG sampai 8 September telah melayani 22,7 juta penerima,” ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTa edisi Agustus 2025, Senin (22/9).

Sebaran penerima meliputi Sumatera 4,86 juta, Jawa 13,26 juta, Kalimantan 1,03 juta, Sulawesi 1,7 juta, Maluku–Papua 520 ribu, dan Bali–Nusa Tenggara 1,34 juta penerima.

Dengan serapan rendah, pemerintah masih harus menyalurkan sisa Rp58 triliun hanya dalam tiga bulan terakhir tahun anggaran berjalan. Pertanyaannya, apakah realistis untuk dikebut di tengah berbagai persoalan implementasi, mulai dari kasus keracunan massal hingga dugaan inefisiensi dan potensi korupsi?

Risiko Tinggi dan Kelemahan Kelembagaan

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita menilai pelaksanaan MBG memang tidak realistis sejak awal.
“Dengan menghabiskan Rp7 triliun saja, sudah banyak yang keracunan dan akuntabilitasnya rendah. Tidak jelas proses tender dan mitranya, bahkan banyak politisi yang memiliki dapur mitra. Ini rawan penyimpangan,” katanya.

Menurut Ronny, Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pelaksana MBG lahir dalam kondisi tidak siap.
“Secara institusional, BGN dimulai dari nol lalu diberi anggaran puluhan triliun, bahkan tahun depan ratusan triliun. Ini berpotensi mandek sekaligus rawan penyimpangan politik karena tender bisa dimenangkan pihak yang dekat dengan kekuasaan,” ujarnya.

Ia menyarankan evaluasi menyeluruh dan menilai banyak program alternatif yang lebih cepat serta efektif, seperti bantuan langsung tunai (BLT), bantuan beras, atau subsidi kantin sekolah.
“MBG di-handle mitra dari hulu ke hilir, sulit dikontrol publik dan wajar jika sering terjadi keracunan,” tambahnya.

Opsi Realokasi Anggaran

Ronny menekankan dana tidak boleh menganggur. “Sayang punya anggaran Rp71 triliun tapi sampai September baru terealisasi Rp13 triliun. Kalau ingin tetap dijalankan, bisa dialihkan ke daerah dengan pengawasan ketat. Jika ada penyimpangan, proses hukum harus tegas,” tegasnya.

Senada, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah perlu menghentikan sementara penyaluran MBG hingga ada kebijakan baru atau perbaikan signifikan.
“Pertimbangkan evaluasi yang muncul. Sementara hentikan program sampai jelas tujuan dan mekanisme perbaikannya,” ujarnya.

Yusuf juga menekankan perlunya kejelasan orientasi: apakah murni untuk gizi anak atau sebagai stimulus ekonomi. Jika untuk stimulus, anggaran bisa dialihkan ke bantuan sosial tunai atau subsidi/diskon tarif listrik yang dampaknya lebih cepat dan akuntabel.

Evaluasi Total Sebelum Lanjutan

Sejak awal, MBG digadang sebagai program unggulan penanganan gizi dan pencegahan stunting. Namun serapan anggaran yang lambat, kelembagaan lemah, dan maraknya kasus keracunan menunjukkan rapuhnya fondasi pelaksanaan.
Rendy menilai upaya mengejar penyaluran dalam waktu singkat justru menambah risiko.
“Evaluasi total, realokasi anggaran, dan penajaman tujuan program menjadi langkah krusial agar MBG benar-benar menjadi solusi, bukan sekadar proyek politis berisiko sosial tinggi,” pungkasnya.