Jakarta — Presiden Prabowo Subianto menghadiri parade militer di China pada Rabu (3/9), di tengah situasi dalam negeri yang memanas akibat gelombang demonstrasi 25 Agustus–1 September 2025.

Aksi unjuk rasa bermula dari penolakan kenaikan pajak dan tunjangan DPR. Ketegangan meningkat setelah kendaraan taktis Brimob melindas pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, pada 27 Agustus. Insiden ini memicu solidaritas di berbagai daerah, ditambah pembakaran fasilitas umum oleh pihak tak dikenal, membuat kondisi semakin tidak stabil.

Prabowo sempat membatalkan kehadiran di pertemuan puncak Organisasi Kerja Sama Shanghai (CSO) pada 31 Agustus–1 September, namun tetap berangkat ke China untuk menghadiri parade militer.

Sinyal Kedekatan dengan China

Peneliti CSIS Indonesia, Waffaa Kharisma, menilai kehadiran Prabowo menjadi sinyal kuat Indonesia semakin mendekat ke China.

“Kalau mau spekulasi, bisa dilihat sebagai sinyal kuat Prabowo untuk semakin mendekat ke regional/global order China,” kata Waffaa, Kamis (4/9).

Hal itu juga tampak saat sesi foto bersama para pemimpin dunia. Prabowo berdiri di baris depan, dekat Presiden China Xi Jinping, bersama Kim Jong Un dan Vladimir Putin.

Menurut Waffaa, posisi dalam foto diplomatik bisa menjadi simbol kedekatan atau penghargaan, meski bisa juga diatur berdasarkan protokol.

Dosen Universitas Indonesia, Sya’roni Rofii, menambahkan bahwa posisi Prabowo di barisan depan menunjukkan bahwa China memandang Indonesia sebagai mitra penting.

Politik Bebas Aktif dan Geopolitik Indo-Pasifik

Sementara itu, akademisi Universitas Rennes Prancis, Daniel Peterson, menyebut kunjungan tersebut sebagai bagian dari strategi politik luar negeri bebas aktif.

“Bagi Prabowo, Indonesia harus memperbaiki statusnya di panggung internasional,” ujarnya.

China sendiri merupakan mitra strategis Indonesia, dengan investasi infrastruktur mencapai US$20,3 miliar, terbesar kedua setelah Pakistan. Selain faktor ekonomi, rivalitas AS–China di Laut China Selatan juga membuat posisi Indonesia semakin genting.

Daniel menyebut letak strategis Indonesia di Selat Malaka, Lombok, dan Sumba menjadikan RI aktor penting dalam dinamika Indo-Pasifik.