Hipotesis saya, bahwa di sinilah kejeniusan Al‑Ghazali terlihat. Dia bukan cuma membela tasawuf dari kritik luar, tapi juga membersihkannya dari dalam. Tasawuf menurut Al-Ghazali tidak cukup hanya soal “rasa”, juga harus ada ilmu. Harus ada keseimbangan antara batin dan lahir. Hemat saya, pendekatan Al‑Ghazali ini yang mampu membawa tasawuf bisa diterima lebih luas, bahkan sampai jadi bagian pendidikan di pesantren dan kehidupan masyarakat umum, khususnya di Indonesia.
Sumber Referensi:
1. “Kontribusi Imam Al‑Ghazali terhadap Eksistensi Tasawuf” — Al‑Banjari: Jurnal Ilmiah Ilmu‑Ilmu Keislaman ( https://doaj.org/article)
2. Artikel “Perjalanan Imam Al‑Ghazali dari Filsuf menuju Tasawuf” oleh Edi Sumanto ( https://ejournal.uinfasbengkulu.ac.id/index.php/twt/article )
3. “Sejarah Intelektual Islam di Bidang Tasawuf: Imam Al‑Ghazali, Ibnu Arabi, dan Mulla Shadra” ( https://www.journal.uiad.ac.id/index.php/al-qalam/article )
4. Kajian tentang “Maqamat Makrifat Hasan Al Basri dan Al‑Ghazali” ( https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/sls/article )