Perubahan besar sedang terjadi di dunia pendidikan tinggi Indonesia. Seiring transformasi sejumlah kampus menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), ruang otonomi universitas dalam menentukan arah kebijakan semakin terbuka lebar.
Salah satu kebijakan yang memicu perdebatan adalah soal syarat akademik calon rektor: haruskah seorang rektor minimal bergelar Lektor Kepala?
Di banyak regulasi lama, syarat itu seolah menjadi harga mati. Namun, beberapa kampus besar seperti UI, UGM, dan ITB ternyata berani mengambil langkah berbeda. Mereka memberi kelonggaran, tidak lagi mewajibkan Lektor Kepala sebagai syarat mutlak.
Pertanyaannya: apakah kebijakan ini sah, dan apa implikasinya bagi masa depan pendidikan tinggi kita?
Otonomi Universitas sebagai Dasar
Otonomi universitas bukanlah jargon kosong. UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Permendikbud No. 4 Tahun 2020 tentang Pengangkatan Rektor secara tegas memberi ruang fleksibilitas.
Kualifikasi calon rektor tidak semata-mata ditentukan oleh jenjang jabatan akademik, melainkan bisa ditimbang dari kompetensi, kontribusi, dan pengalaman. Dengan status PTNBH, universitas bahkan berhak merumuskan aturan internalnya sesuai kebutuhan.
Artinya, tidak ada aturan hukum yang secara eksplisit melarang universitas menghapus syarat Lektor Kepala. Selama tidak melanggar aturan yang lebih tinggi dan tetap menjunjung prinsip keadilan, kebijakan itu sah secara hukum.
Mengapa Syarat Itu Perlu Direvisi?
Mari kita jujur: kepemimpinan universitas tidak hanya soal pangkat akademik. Gelar Lektor Kepala memang penting, tapi ia bukan jaminan mutlak bahwa seseorang mampu memimpin universitas besar menghadapi tantangan global.
Justru, dengan membuka pintu lebih lebar, universitas bisa melirik sosok yang punya visi kuat, pengalaman luas, dan kemampuan manajerial yang mumpuni. Bisa jadi ia seorang akademisi senior, praktisi profesional, atau tokoh dengan jejaring internasional—meskipun belum menyandang gelar Lektor Kepala.
Di sinilah prinsip keadilan berbicara. Memberi kesempatan lebih luas berarti membuka jalan bagi keragaman perspektif, mempercepat reformasi internal, dan menyiapkan universitas menghadapi era disrupsi.
Filosofi Keadilan dan Kebebasan Akademik
Universitas bukan sekadar institusi birokratis yang kaku pada aturan administratif. Ia adalah ruang kebebasan akademik, tempat gagasan baru tumbuh.
Maka, logis jika pencalonan rektor tidak dibatasi hanya oleh satu jenjang akademik. Kompetensi, integritas, visi, dan keberanian berinovasi seharusnya menjadi ukuran utama.
Dengan status PTNBH, universitas memang didorong untuk berani mengambil keputusan besar. Membuka peluang lebih luas dalam seleksi rektor justru selaras dengan filosofi itu.
Penutup
Membebaskan syarat Lektor Kepala dalam pencalonan rektor bukanlah pelanggaran hukum. Sebaliknya, ini adalah wujud nyata dari otonomi perguruan tinggi dan keadilan akademik.
Dengan fleksibilitas ini, universitas berpeluang melahirkan pemimpin yang visioner, inovatif, dan relevan dengan kebutuhan zaman.
Pada akhirnya, yang terpenting bukanlah gelar akademik yang melekat, melainkan kemampuan membawa universitas menuju masa depan yang lebih baik.
KH. Dr. Muhammad Sontang Sihotang, S.Si., M.Si
Bakal Calon Rektor USU 2026–2031, Dosen Fisika & Kepala Laboratorium Fisika Nuklir, FMIPA Universitas Sumatera Utara
E-mail: muhammad.sontang@usu.ac.id
Wartawan Orasi.id – Medan, Sumatera Utara