“Jauh sebelum dibangun ruko, dulu di situ rumah orang tua saya. Rumah itu dipagari tembok keliling belakang dan samping. Saat rumah dirobohkan untuk dibangun ruko, tembok sengaja tidak dihancurkan karena berfungsi sebagai pembatas sekaligus pondasi penahan tanah timbunan agar rata dengan jalan,” jelasnya.
Pernyataan ini memperkuat posisi Yung Yung Chandra bahwa tembok memang bagian dari struktur awal bangunan, sehingga kerusakan yang timbul tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pihak terlapor.
Dalam perspektif hukum pidana, perbuatan pengrusakan bangunan dapat dijerat melalui Pasal 200 dan Pasal 406 KUHP. Pasal 200 mengatur secara khusus larangan merusak bangunan, dengan ancaman pidana yang lebih berat karena menyangkut keselamatan manusia. Sedangkan Pasal 406 berlaku lebih umum terhadap barang milik orang lain, dengan ancaman pidana penjara maksimal dua tahun delapan bulan.
Dengan demikian, aparat penegak hukum memiliki dasar kuat untuk menjerat pelaku dalam kasus ini. Bagi Yung Yung Chandra, kerusakan pada bangunan rukonya bukan sekadar soal materi, melainkan ancaman keselamatan bagi keluarganya.
“Kerusakan bangunan saya semakin parah, retak di mana-mana. Saya dan keluarga sangat waswas dengan kondisi ini. Semoga pihak kepolisian, khususnya Kapolsek Jelutung dan jajaran, tidak menyepelekan masalah ini karena menyangkut keselamatan keluarga saya,” ungkap Yung Yung Chandra. (*)