Jakarta — “Lucunya kota Jakarta, mudah belum tentu indah, susah belum tentu tak bahagia.”

Potongan lirik dari lagu Djakarta  karya laleimanino, Diskoria, dan Cecil Yang mencerminkan kehidupan pekerja di Jakarta belakangan ini.

Sejumlah pekerja kini merasakan dampak dari kondisi ekonomi yang bergejolak. Di tengah gelombang PHK, mereka berupaya mempertahankan kelangsungan hidup.

Lukman (27), seorang pekerja di Meruya, Kembangan, Jakarta Barat, terkejut dengan lonjakan harga makanan di warung kesayangannya.

Biasanya, ia menikmati nasi lengkap dengan irisan tongkol, sayur, perkedel, dan orek tempe, ditutup dengan segelas es teh manis gratis. Ia hanya mengeluarkan Rp15 ribu saat makan siang.

Namun, kini, harga makanan yang sama melonjak menjadi Rp17 ribu dan es teh manis gratis sudah tidak ada lagi.

“Harga bahan pokok sekarang sudah tidak masuk akal. Untuk menu yang sama, saya harus membayar Rp17 ribu dan es teh manisnya dikenakan biaya Rp4.000,” ungkap Lukman kepada .

Akibat kenaikan harga tersebut, pengeluaran Lukman semakin membengkak. Ia dan istri biasanya menghabiskan Rp200 ribu-Rp250 ribu per minggu untuk makan siang di luar. Untuk mengurangi pengeluaran, mereka mulai memasak sendiri dan berhasil menekan biaya makan menjadi Rp150 ribu per minggu, memberikan sedikit ruang bagi keuangan rumah tangga.

Baca Juga:error code: 524

Masalah tak hanya berhenti di pangan. Ongkos transportasi juga memberikan tekanan pada anggaran Lukman. Ia menghabiskan hingga Rp100 ribu per minggu untuk perjalanan ke kantor.

Dengan meningkatnya biaya, Lukman memilih transportasi publik alih-alih menggunakan kendaraan pribadi atau ojek online, meski harus menempuh jarak lebih jauh dan waktu lebih lama.