Di tengah dinamika pembangunan nasional yang menuntut efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas, penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tidak boleh lagi diperlakukan sebagai ritual administratif semata. RPJMD sejatinya adalah arsitektur kebijakan yang menentukan arah pembangunan lima tahun ke depan, sekaligus cerminan kapasitas birokrasi dalam menjawab kompleksitas persoalan daerah.

Pernyataan Gubernur Jambi, Al Haris, yang menekankan pentingnya Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk mengedepankan kepentingan masyarakat dalam implementasi RPJMD 2025–2029 merupakan sinyal korektif. Ini merupakan peringatan terhadap pola tata kelola yang kerap terjebak dalam orientasi prosedural, bukan substansial. Di sinilah letak titik kritisnya: apakah birokrasi kita siap bertransformasi dari sekadar pelaksana regulasi menjadi katalisator perubahan?

Kesepakatan atas RPJMD Provinsi Jambi 2025–2029 seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai formalitas dalam tahapan perencanaan, melainkan sebagai commitment device yang menuntut transformasi etos kerja birokrasi. Hal ini sejalan dengan Permendagri No. 81 Tahun 2022, khususnya Pasal 3 ayat (1), yang menyatakan bahwa perencanaan pembangunan daerah harus dilakukan secara bersinergi dan berpedoman pada arah kebijakan nasional melalui pendekatan teknokratik, partisipatif, dan integratif.

Lebih lanjut, Pasal 9 ayat (2) menegaskan bahwa penyusunan RPJMD harus memperhatikan hasil evaluasi capaian periode sebelumnya. Ini berarti birokrasi daerah, termasuk seluruh OPD, dituntut untuk tidak hanya mengeksekusi program secara administratif, tetapi juga melakukan evaluasi efektivitas program masa lalu dan menyusun strategi baru berbasis bukti (evidence-based).

Pernyataan Gubernur Al Haris juga mencerminkan keinginan untuk menggeser orientasi pemerintahan dari compliance-based administration menuju performance-based governance. Dalam kerangka ini, RPJMD tidak boleh lagi dimaknai semata sebagai produk administratif, melainkan sebagai manifestasi amanat konstitusional dan regulatif, di mana setiap program kerja harus dapat diturunkan menjadi indikator kinerja yang terukur, berbasis data, dan mampu menjawab kebutuhan riil masyarakat lintas sektor dan wilayah.

Pendekatan teknokratik terhadap implementasi RPJMD mensyaratkan sinergi antara evidence-based policy, partisipasi publik, dan transparansi anggaran. Tanpa ketiga pilar ini, kebijakan hanya akan menjadi simbolisme politik belaka. Karena itu, OPD sebagai pelaksana teknis dituntut tidak sekadar menjalankan instruksi birokratis, tetapi juga menginternalisasi prinsip public value creation—yakni keberhasilan program diukur dari seberapa besar nilai tambah sosial, ekonomi, dan ekologis yang dihasilkan bagi masyarakat Provinsi Jambi.

Penyelarasan antarprogram dan antarinstansi menjadi keniscayaan. Penyusunan RPJMD dan program tahunan OPD harus selaras dengan arah pembangunan nasional. Keselarasan ini sejalan dengan prinsip evidence-based policy, di mana kebijakan dirumuskan berdasarkan data empirik, evaluasi kinerja, dan efisiensi pengelolaan sumber daya. Setiap program dan kegiatan harus mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional dan daerah secara simultan.

Keberhasilan implementasi RPJMD sangat bergantung pada koordinasi dan kolaborasi antar-OPD. Tidak ada satu instansi pun yang dapat bekerja sendiri dalam mewujudkan agenda pembangunan. Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci agar program berjalan terintegrasi dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Dalam proses ini, monitoring dan evaluasi menjadi mekanisme krusial untuk menilai efektivitas kebijakan secara periodik. Jika ditemukan deviasi dari target, OPD harus mampu melakukan penyesuaian berbasis data, bukan sekadar reaksi administratif.

Pernyataan Gubernur Al Haris merupakan pengingat bahwa tata kelola pembangunan yang efektif tidak akan terwujud tanpa birokrasi yang adaptif, akuntabel, dan berpihak kepada masyarakat. Dalam konteks ini, RPJMD bukan sekadar dokumen lima tahunan, tetapi kontrak moral dan institusional antara negara dan rakyat. OPD harus memposisikan diri sebagai aktor utama dalam memastikan pembangunan berpihak pada kepentingan publik—bukan kepentingan birokrasi itu sendiri.

Dengan demikian, setiap program dan anggaran yang disusun harus benar-benar berakar pada kebutuhan masyarakat, tidak tercerabut dari realitas sosial, dan mampu mendorong kemajuan daerah yang inklusif, terintegrasi, dan berkelanjutan. RPJMD bukanlah tumpukan dokumen semata, melainkan kontrak strategis yang harus diaktualisasikan dalam kebijakan publik yang relevan, terukur, dan berpihak.

Gubernur Al Haris telah memberi arah yang tegas: pembangunan harus berpijak pada realitas, menjawab kebutuhan masyarakat, dan memberikan dampak nyata. Maka, keberhasilan RPJMD Jambi 2025–2029 akan ditentukan oleh sejauh mana birokrasi mampu menjadikan prinsip evidence-based policy dan public value creation sebagai etos kerja sehari-hari. Tanpa itu semua, RPJMD hanya akan menjadi retorika tanpa realisasi.