Angin segar datang melalui Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025 yang menegaskan kembali posisi strategis Pramuka. Meski tidak seketat regulasi sebelumnya, kebijakan baru ini memberikan legitimasi penting dengan mewajibkan setiap satuan pendidikan sekolah dan madrasah menyediakan program wajib kepramukaan. Regulasi ini bukan sekadar pengakuan formal, melainkan pintu masuk untuk transformasi—dari kegiatan seremonial menjadi program terstruktur yang terintegrasi dengan kurikulum pendidikan karakter di sekolah dan madrasah.
Dengan payung hukum yang lebih jelas, madrasah kini memiliki peluang untuk mendesain ulang program Pramuka secara kreatif. Tantangannya adalah bagaimana mengubah kerangka regulatif menjadi praktik edukatif yang bermakna—bukan sekadar memenuhi kewajiban administratif, tetapi benar-benar menjadikan Pramuka sebagai laboratorium hidup pembentukan karakter. Ini membutuhkan alokasi sumber daya yang proporsional dan komitmen seluruh pemangku kepentingan.
Dinamika regulasi terakhir ini menunjukkan bahwa Pramuka di madrasah sedang bergerak menuju fase baru—dari kegiatan tambahan menjadi elemen esensial pendidikan karakter. Perubahan ini selaras dengan visi besar ekoteologi dan anti-korupsi, di mana nilai-nilai Pramuka tidak lagi diajarkan sebagai materi terpisah, tetapi diinternalisasi melalui praktik nyata dalam ekosistem pendidikan madrasah yang holistik.
Ekoteologi dan Anti-Korupsi
Gerakan ekoteologi yang digalakkan Kementerian Agama bukan sekadar kampanye lingkungan, melainkan revolusi paradigma yang menyatukan kesalehan ekologis dengan spiritualitas. Dalam konteks madrasah, pendekatan ini menemukan momentum tepat, di mana alam tidak lagi dipandang sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai amanah ilahiyah yang membutuhkan tanggung jawab kolektif. Pramuka menjadi medium ideal untuk mentransformasikan kesadaran ini menjadi aksi nyata, sekaligus membangun jembatan antara kesalehan individu dan tanggung jawab sosial.