Pramuka madrasah berfungsi sebagai laboratorium hidup yang mengubah nilai-nilai abstrak menjadi tindakan nyata, seperti pelestarian alam dan kejujuran melalui kegiatan konkret (menjaga kebersihan, penghematan air, serta transparansi pengelolaan perlengkapan). Kolaborasi antara guru, madrasah, keluarga, dan masyarakat—didukung regulasi (Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025) dan sinergi Kemenag-KPK dalam pendidikan anti-korupsi—memastikan Pramuka tidak hanya melatih keterampilan lapangan, tetapi juga membangun kesadaran ekologis, integritas moral, dan ketangguhan karakter di era digital.
Dinamika Pramuka Madrasah
Perjalanan regulasi kepramukaan di Indonesia mengalami pasang surut kebijakan yang mencerminkan dialektika antara idealisme pendidikan karakter dan realitas sistem pendidikan. Puncaknya adalah Permendikbud Nomor 12 Tahun 2024 yang mencabut status wajib ekstrakurikuler Pramuka, menimbulkan kekhawatiran luas tentang degradasi pembinaan karakter. Kebijakan ini ibarat pisau bermata dua—di satu sisi memberi fleksibilitas, di sisi lain mengikis fondasi pendidikan nilai yang selama ini dibangun melalui tradisi kepramukaan.
Respons dunia pendidikan terhadap perubahan regulasi ini layak menjadi catatan penting, bahkan beberapa satuan pendidikan termasuk madrasah mengalami disorientasi ketika struktur pembinaan karakter yang selama ini terbangun melalui Pramuka tiba-tiba kehilangan landasan hukumnya. Ruang pendidikan karakter non-akademik menyempit, sementara tekanan terhadap pencapaian akademik semakin mendominasi. Situasi ini memunculkan pertanyaan kritis: mampukah pendidikan karakter bertahan tanpa kerangka regulasi yang jelas?