Lalu nanti apakah calon Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD sesuai dengan keinginan dan kehendak rakyat agar bisa mewujudkan dan memperjuangkan hak-hak mereka untuk kesejahteran dan kemakmuran rakyat seadil-adilnya. Atau sebaliknya justru calon Kepala Daerah yang dipilih tersebut hanya akan menjadi “alat kepentingan politik semata” jika ini terjadi,  tentu akan lebih merusak cita-cita dari Demokrasi itu sendiri. Sejarah Panjang Indonesia telah membuktikan dari zaman Orde baru sampai tercipta zaman Reformasi dan melahirkan Demokrasi langsung sebagai jalan terbaik bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan Negara Demokrasi yang berlandaskan Pancasila.

Aturan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) yang mendasar bersumber dari Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis yang mana Pemilihan secara implisit menegaskan bahwa kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, yaitu one person, one vote, one value berarti hak pilih dalam Pemilu merupakan penghargaan pada martabat seorang sebagai warga negara yang adil, setara, dan tidak dibedakan oleh apa pun. Sepanjang memenuhi ketentuan hak pilih, maka semua dianggap sama di hadapan hukum, dimana pada hakekatnya Pemilihan merupakan perwujudan Kedaulatan Rakyat dalam memilih Pemimpin Daerah dan harus menjamin prinsip-prinsip Demokrasi seperti pemilihan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Beberapa waktu lalu Mahkamah Konstusi (MK) telah mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mulai 2029, keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu nasional) dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota (Pemilu daerah atau lokal) dengan dasar ini menegaskan kembali Pemilihan tetap dilakukan langsung.