Jakarta — Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menegaskan bahwa praktik mencampur beras untuk menyesuaikan kualitas dan preferensi konsumen merupakan hal yang umum dalam industri beras.

Namun, ia memperingatkan agar tidak melanggar batasan tertentu, terutama terkait beras yang disediakan oleh Perum Bulog. Arief menjelaskan bahwa pencampuran beras biasanya dilakukan untuk mendapatkan karakteristik tertentu, seperti kadar kepulenan.

Dalam industri ini, beras premium umumnya merupakan hasil campuran yang terdiri dari sekitar 15 persen beras patah (broken rice), sementara beras medium mencakup campuran sekitar 25 persen beras patah. Proses ini juga bertujuan untuk menyesuaikan dengan selera konsumen, yang mungkin mencari perpaduan antara beras pulen dan pera.

“Jika berbicara mengenai pencampuran, saya ingin menjelaskan bahwa inti dari beras, dalam konteks bisnis, adalah praktik mencampur. Untuk menghasilkan beras premium, beras kepala ditambah 15 persen beras patah. Sedangkan untuk beras medium, campuran beras kepala ini ditambah dengan 25 persen beras patah,” kata Arief dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta Pusat, Kamis (21/8).

Walaupun demikian, ia menekankan praktik pencampuran beras tidak boleh disalahgunakan dan merugikan konsumen, khususnya dengan mencampur beras Bulog dan beras komersial. Menurutnya, beras Bulog yang dibeli dengan harga lebih rendah harus dijual dalam kondisi aslinya, tanpa digabung dengan beras premium.

Baca Juga:error code: 524

“Tindakan yang tidak diperbolehkan adalah mengoplos beras Bulog yang dibeli seharga Rp11 ribu dengan beras yang harganya Rp15 ribu, kemudian menjualnya antara Rp14 ribu hingga Rp15 ribu. Beras Bulog harus dijual sesuai kondisi aslinya, yaitu 5 kilogram,” ujarnya.

Arief juga menjelaskan bahwa pengawasan terhadap praktik penjualan beras dilakukan oleh Bapanas, Kementerian Perdagangan, Satgas Pangan, dan pemerintah daerah. Isu yang belakangan ini muncul lebih berkaitan dengan pelabelan dan takaran yang tidak sesuai, bukan semata akibat proses pencampuran.

“Isu yang sedang dibicarakan adalah tentang kemasan yang menyebut beras tersebut sebagai premium, tetapi isinya tidak memenuhi standar premium. Selain itu, ada juga masalah di mana kemasan yang menyatakan berat 5 kg, tetapi ternyata kurang dari itu,” jelas Arief.

Sebelumnya, Satgas Pangan Polri telah menetapkan tiga tersangka terkait pelanggaran mutu dan takaran beras oleh PT Padi Indonesia Maju (PIM) Wilmar. Perusahaan ini diduga melabeli produknya sebagai beras premium, namun isinya tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan, dan berat kemasan tidak sesuai takaran.

Dalam penyidikan ditemukan empat merek yang terlibat, yaitu Sania, Fortune, Sovia, dan SIIP. Polisi menyita 13.740 karung berisi total 58,9 ton beras. Tiga tersangka yang ditetapkan antara lain S, Presiden Direktur PT PIM; Al, Kepala Pabrik; dan DO, Kepala Quality Control. Mereka dikenakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan ancaman hukuman hingga lima tahun penjara serta denda sebesar Rp2 miliar.