Namun, ada sekitar 80 kabupaten/kota yang mencatat harga Minyakita sesuai atau bahkan lebih rendah dari HET, termasuk Bantul, Gunung Kidul, Indramayu, Parepare, dan Majene.
Pada kesempatan yang sama, Kemendag mengungkapkan bahwa harga Minyakita masih terpantau tinggi karena distribusi program Domestic Market Obligation (DMO) belum merata dan sebagian besar dilakukan oleh pihak swasta.
Sekretaris Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Bambang Wisnubroto, mengungkapkan bahwa realisasi DMO pada Juli 2025 sangat tinggi, mencapai 215.132 ton. Hingga 24 Agustus, sudah tersalurkan 124.862 ton dalam bentuk Minyakita.
Meskipun hal tersebut positif, porsi penyaluran melalui Perum Bulog masih kurang dari 5 persen per bulan. Situasi ini menyebabkan distribusi lebih banyak didominasi oleh pelaku usaha swasta, sehingga harga di pasar antar daerah sulit untuk dikendalikan.
“Minyak premium dan minyak curah tidak lagi diatur. Untuk Minyakita, yang masih dalam program DMO, realisasi hingga 24 Agustus sudah mencapai 124.862 ton, semuanya dalam bentuk Minyakita,” kata Bambang.
Karena distribusi yang lebih banyak dilakukan oleh sektor swasta, harga Minyakita di beberapa daerah menjadi sulit untuk ditentukan. Pemerintah sedang mempertimbangkan untuk meningkatkan peran Bulog melalui dukungan dari APBN agar penyaluran bisa lebih merata hingga daerah yang terpencil.
Target pemerintah adalah memastikan penyaluran Minyakita minimal mencapai 175 ribu ton per bulan untuk menjaga agar harga tidak melambung jauh di atas HET.