Target Rp800 T Dinilai Tidak Realistis

Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai target setoran Rp800 triliun dari BUMN sulit diwujudkan dalam waktu dekat.

Ia menjelaskan, pada 2024 total dividen BUMN ke APBN hanya sekitar Rp85,5 triliun atau US$5–6 miliar, jauh dari target US$50 miliar.

“Nilai aset BUMN memang besar, tapi sebagian besar berupa ekuitas dan aset tetap, bukan kas yang siap disetor. Untuk mencairkannya butuh penjualan aset atau laba sangat tinggi secara konsisten, yang jelas tidak mudah,” katanya.

BUMN strategis seperti PLN, Pertamina, dan Telkom membutuhkan belanja modal besar untuk menjaga ketahanan energi, memperluas jaringan, dan transformasi digital. Sementara BUMN perbankan seperti BRI dan Bank Mandiri terikat regulasi modal minimum dan buffer risiko yang tidak bisa dilanggar.

Syafruddin menilai jika pemerintah terlalu memaksa, maka akan muncul risiko jangka panjang berupa menurunnya kemampuan investasi, melemahnya kinerja, hingga menurunnya kredibilitas tata kelola.

“Kontribusi BUMN harus lahir dari kinerja sehat dan berkelanjutan, bukan dari kebijakan instan yang bisa merusak peran strategis mereka,” ujarnya.

Perlu Restrukturisasi dan Fokus Bisnis Inti

Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet sependapat bahwa target kontribusi BUMN sebesar Rp800 triliun sangat menantang, mengingat 52 persen masih merugi.

Menurutnya, kontribusi BUMN masih bergantung pada segelintir perusahaan besar seperti Pertamina, PLN, Telkom, dan bank-bank Himbara.

Rendy menekankan perlunya langkah fundamental seperti restrukturisasi menyeluruh, merger perusahaan sejenis, masuknya mitra strategis, efisiensi, serta penerapan tata kelola yang baik.

“Penghapusan tantiem memang memberi pesan moral positif, tapi kontribusinya kecil. Itu hanya langkah simbolis, bukan solusi substansial untuk memperbaiki kinerja BUMN secara menyeluruh,” tegasnya.