3. Fear of Regret: Takut Menyesal
Bias ini terjadi ketika investor mempertahankan saham karena takut akan menyesal jika menjualnya. Misalnya, seorang karyawan yang memiliki saham perusahaan tempatnya bekerja merasa loyal jika tetap memegang saham tersebut. Namun, diversifikasi portofolio adalah prinsip dasar dalam investasi untuk mengurangi risiko.
Jika ia memilih untuk menyebar investasinya dan ternyata saham perusahaannya naik, ia bisa menyesal karena kehilangan potensi keuntungan. Sebaliknya, jika ia terlalu loyal dan saham tersebut justru anjlok, maka penyesalan juga tak terhindarkan. Dalam kondisi ini, keputusan investasi diganggu oleh dilema emosional.
4. Anchoring: Terjebak pada Harga Patokan
Bias terakhir adalah anchoring, yakni kecenderungan untuk melekat pada harga historis sebuah saham sebagai acuan nilai saat ini. Ketika saham pernah berada di harga tertentu, investor berharap harga itu akan tercapai kembali, meski kenyataannya berbeda.
Padahal, waktu terus berjalan dan banyak peluang investasi lain yang mungkin lebih menguntungkan. Namun, karena “tertambat” pada harga patokan, investor enggan melepaskan saham tersebut. Akibatnya, opportunity cost pun meningkat.
Pemahaman terhadap bias emosional sangat penting bagi setiap investor yang ingin mengelola portofolionya dengan bijak. Keputusan finansial seharusnya didasarkan pada analisis rasional, bukan dominasi perasaan. Dengan memahami dan mengendalikan kecenderungan emosional ini, investor bisa menghindari keputusan impulsif yang berisiko tinggi.