Jakarta — Sejumlah asosiasiĀ sopir truk mengkritik rencana pemerintah menerapkan aturan nol kelebihan muatan dan dimensi atau Zero Overdimension Overload (ODOL) tanpa perlindungan untuk pengemudi.
Pengurus Asosiasi Sopir Logistik Indonesia (ASLI) Farid Hidayat mengatakan penerapam Zero ODOL tanpa penetapan batasan tarif bakal berdampak pada kenaikan harga sembako.
Sopir mau tak mau harus meminta ongkos kirim lebih tinggi karena muatan dibatasi.
“Saya rasa masyarakat mau enggak beli beras Rp50 ribu satu kilo? Tidak mau. Artinya, kami terpaksa harus ODOL,” ujarĀ Farid pada jumpa pers di Kantor DPP Konfederasi Sarbumusi, Jakarta Pusat, Selasa (1/7).
Dia memberi contoh pengiriman beras dari Banyuwangi, Jawa Timur ke Lombok, NTB. Ongkos kirim yang diterima sopir truk hanya Rp500 ribu per ton, sedangkan pemerintah membatasi muatan hanya 4 ton.
Artinya, mereka hanya mengantongi Rp2 juta untuk pengiriman itu. Padahal, ongkos penyeberangan saja menembus Rp2,15 juta. Belum lagi mereka harus membeli BBM dan menghadapi berbagai pungli.
Farid menyebut biasanya sopir truk membawa beras hingga 15 ton sekali jalan. Ongkir Rp7,5 juta itu cukup membiayai operasi hingga beras sampai ke pasar di Lombok.
“Dan tentunya harga kebutuhan pokok, kebutuhan pokok di masyarakat terkait beras itu tadi tentunya tetap stabil,” ucapnya.
“Kami melakukan overloading yang dianggap kejahatan atau yang dianggap melalui hukum kami melakukan overloading,” ujar Farid menceritakan ironi yang dialami para sopir.
Ketua Umum Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia (RBPI) Ika Rostianti mengatakan kondisi ini terjadi karena pemerintah melepas ongkos kirim ke mekanisme pasar. Menurutnya, pemerintah harus turun membuat batasan tarif ongkir agar sopir bisa menjalankan Zero ODOL dengan nyaman.