Pungli di dunia akademik tak selalu kasat mata. Ia berkamuflase dalam kegiatan yang “diwajibkan”, dalam proposal-proposal kegiatan yang ujungnya hanya memperkaya segelintir pihak, bahkan dalam “sumbangan sukarela” yang tak pernah benar-benar bisa ditolak.

Yang lebih menyedihkan, mahasiswa dipaksa tunduk dalam diam. Takut nilai dipersulit, takut nama dicoret, takut masa depan digantung. Maka, banyak dari kami memilih membayar ketimbang bicara. Tapi sampai kapan?

Kami tidak butuh dosen yang hanya pandai berbicara di seminar antikorupsi tapi diam ketika rekan sejawatnya menjual nilai. Kami tidak butuh kampus yang membanggakan akreditasi tapi membiarkan praktik kotor merajalela. Dan kami tidak butuh sistem pendidikan yang melahirkan sarjana yang terbiasa menyuap sejak mahasiswa.

Kami tidak membenci dosen. Justru karena kami menghormati, kami ingin mereka menjadi teladan. Kami juga tidak sedang menggeneralisasi. Masih banyak dosen baik, lurus, yang mengajar dengan hati. Tapi mereka yang baik itu pun akhirnya tergerus citranya oleh kelakuan oknum-oknum yang tak malu menjual ilmu.

Penulis, M Arjuna Pase.

Ini bukan sekadar persoalan uang. Ini soal hancurnya kepercayaan terhadap institusi pendidikan, soal rusaknya mental generasi muda yang dipaksa terbiasa dengan “uang pelicin”, sejak masih menjadi pencari ilmu.

Kampus bukan hanya tempat kami menuntut gelar, tapi tempat kami menggantungkan harapan. Kami ingin menjadi sarjana yang cerdas, jujur, dan beretika. Tapi bagaimana itu bisa terjadi jika sejak awal, kami sudah diajari untuk menyuap demi nilai? Di mana letak marwah kampus jika praktik semacam ini terus dibiarkan?