DALAM rangka melaksanakan kegiatan akademik berbasis lapangan, mahasiswa Progran Studi Ilmu Pemerintahan melaksanakan Tugas Kuliah Lapangan (TKL) di wilayah Kabupaten Bungo. Kegiatan ini berfokus pada dua Peraturan daerah utama, yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Bungo Nomor 9 Tahun 2007 tentang Lembaga Adat dan Peraturan Daerah Kabupaten Bungo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pemerintah Dusun.

Kegiatan Tugas Kuliah Lapangan (TKL) ini bertujuan untuk mendalami implementasi kebijakan daerah serta memahami bagaimana sinergi antara pemerintah formal dan institusi adat dalam sistem pemerintahan lokal. Mahasiswa melakukan observasi, wawancara dengan tokoh adat dan perangkat dusun, serta studi dokumen di beberapa dusun terpilih.

Dari hasil pengamatan dilapangan, mahasiswa mencatat bahwa:
1.Perda No. 9 Tahun 2007 tentang Lembaga Adat masih relevan dan menjadi pedoman penting dalam menjaga nilai-nilai budaya serta menyelesaikan sengketa masyarakat secara adat. Namun, ditemukan bahwa tidak semua dusun memiliki kelembagaan adat yang aktif dan terdokumentasi dengan baik, serta terjadi variasi dalam pelaksanaan fungsi lembaga adat antar wilayah.

2.Perda No. 5 Tahun 2020 tentang Pemerintah Dusun menunjukkan adanya peningkatan dalam kapasitas tata kelola pemerintah dusun. Struktur kelembagaan yang diatur cukup jelas, namun pelaksanaannya masih menghadapi tantangan berupa keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran. Hubungan antara lembaga adat dan pemerintah dusun belum sepenuhnya harmonis di beberapa wilayah, menunjukkan perlunya mekanisme koordinasi yang lebih baik.

Rendika Kurniawan Mahasiswa yang ikut melakukan tugas kuliah lapangan dan juga sebagai Kepala Bidang (kabid) Sosial di Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan mengatakan, Pelaksanaan tugas kuliah lapangan ini memberi pengalaman dan wawasan penting tentang dinamika hubungan antara peraturan daerah dan praktik pemerintahan di tingkat lokal. Kegiatan ini juga memperkuat pemahaman terhadap pentingnya pelibatan masyarakat adat dalam proses pembangunan dusun.

Namun, di balik semangat dan kerja keras mahasiswa yang menyambangi dusun-dusun terpencil, ada hal yang cukup menyedihkan dan membuat dahi berkerut. Sayangnya, pelaksanaan Tugas Kuliah Lapangan (TKL) di daerah sendiri justru kerap diposisikan sebagai “kelas dua” dalam pandangan sebagian kalangan, bahkan dalam penilaian akademik. Ketika ada rekan-rekan mahasiswa lain yang melakukan Tugas Kuliah Lapangan (TKL) ke luar provinsi mereka seringkali mendapat respons dan nilai yang lebih tinggi, meskipun tujuan pembelajaran dan pendekatan lapangan sama.

Tentu tidak ada yang salah dengan keberagaman lokasi, tetapi ketika apresiasi akademik lebih banyak ditentukan oleh “lokasi yang eksotik” daripada kedalaman analisis dan relevansi tema, di situlah semangat keadilan akademik perlu ditinjau ulang. Apakah esensi Tugas Kuliah Lapangan (TKL) adalah wisata lokasi, atau justru pendalaman kebijakan lokal dan kontribusi nyata terhadap pemahaman masyarakat?

Dusun : “Ruang belajar paling jujur”

Dusun bukan hanya ruang geografis. Ia adalah ruang belajar paling jujur. Di sana, mahasiswa bisa melihat langsung bagaimana antara teks Perda dan realitas lapangan bisa begitu berbeda. Di sana pula mahasiswa menyadari bahwa kebijakan publik tidak lahir di meja rapat, tapi tumbuh dari perjumpaan antara tradisi dan kebutuhan modern.

Pengalaman ini mestinya mendapat nilai lebih, bukan karena lokasi yang jauh, tetapi karena kedekatannya dengan misi keilmuan: membumikan ilmu, bukan menggantungnya di langit ekspektasi kosong.

Jika kampus adalah tempat berpikir, maka dusun adalah tempat merasakan. Dan barangkali, rasa itu yang kini makin jarang dihitung dalam sistem penilaian akademik yang kerap lebih silau oleh jarak daripada makna. (*)