Rendika Kurniawan Mahasiswa yang ikut melakukan tugas kuliah lapangan dan juga sebagai Kepala Bidang (kabid) Sosial di Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan mengatakan, Pelaksanaan tugas kuliah lapangan ini memberi pengalaman dan wawasan penting tentang dinamika hubungan antara peraturan daerah dan praktik pemerintahan di tingkat lokal. Kegiatan ini juga memperkuat pemahaman terhadap pentingnya pelibatan masyarakat adat dalam proses pembangunan dusun.
Namun, di balik semangat dan kerja keras mahasiswa yang menyambangi dusun-dusun terpencil, ada hal yang cukup menyedihkan dan membuat dahi berkerut. Sayangnya, pelaksanaan Tugas Kuliah Lapangan (TKL) di daerah sendiri justru kerap diposisikan sebagai “kelas dua” dalam pandangan sebagian kalangan, bahkan dalam penilaian akademik. Ketika ada rekan-rekan mahasiswa lain yang melakukan Tugas Kuliah Lapangan (TKL) ke luar provinsi mereka seringkali mendapat respons dan nilai yang lebih tinggi, meskipun tujuan pembelajaran dan pendekatan lapangan sama.
Tentu tidak ada yang salah dengan keberagaman lokasi, tetapi ketika apresiasi akademik lebih banyak ditentukan oleh “lokasi yang eksotik” daripada kedalaman analisis dan relevansi tema, di situlah semangat keadilan akademik perlu ditinjau ulang. Apakah esensi Tugas Kuliah Lapangan (TKL) adalah wisata lokasi, atau justru pendalaman kebijakan lokal dan kontribusi nyata terhadap pemahaman masyarakat?
Dusun : “Ruang belajar paling jujur”
Dusun bukan hanya ruang geografis. Ia adalah ruang belajar paling jujur. Di sana, mahasiswa bisa melihat langsung bagaimana antara teks Perda dan realitas lapangan bisa begitu berbeda. Di sana pula mahasiswa menyadari bahwa kebijakan publik tidak lahir di meja rapat, tapi tumbuh dari perjumpaan antara tradisi dan kebutuhan modern.