Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati menilai putusan MK itu menandai tonggak penting perbaikan desain kelembagaan demokrasi di Indonesia, khususnya dalam menyusun sistem pemilu yang lebih efektif, efisien, dan berkeadilan.

Menurutnya, pemilu serentak seperti yang terjadi pada 2019 dan 2024 telah menciptakan beban administratif dan teknis yang sangat besar bagi penyelenggara pemilu.

Tidak hanya itu, ia berpendapat model pemilu serentak juga menyulitkan pemilih untuk membuat pilihan yang rasional karena harus memilih lima jenis jabatan dalam satu hari dengan jumlah calon yang sangat banyak.

“Di sisi lain, partai politik juga kesulitan mempersiapkan calon legislatif dan eksekutif di berbagai tingkatan secara bersamaan, sehingga proses rekrutmen cenderung bersifat instan dan didasarkan pada popularitas semata,” kata Neni saat dihubungi, Selasa (1/7).

Lebih lanjut, ia mengatakan jadwal Pemilu 2024 yang memisahkan pemilu legislatif, pilpres pada Februari dan pilkada pada November tanpa ada pengaturan hukum yang sesuai, telah memperlihatkan tumpang tindih tahapan, kelelahan publik, serta potensi kejenuhan demokrasi.

Penumpukan tahapan pemilu dan pilkada itu dinilai bukan hanya melelahkan bagi penyelenggara, tetapi juga mengganggu konsentrasi partai politik dan pemilih dalam menilai kualitas para calon.

“Dalam konteks ini, putusan MK menjadi angin segar yang membuka ruang untuk mendesain ulang sistem kepemiluan nasional secara lebih sistematis, rasional, dan partisipatif,” ujar Neni.