“Selain itu, Undang-undang ini juga melanggar asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, serta asas kejelasan rumusan, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam implementasinya,” ungkap dia.
Dalil ketiga menyoroti Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) tidak dilibatkan dalam proses pembentukan UU BUMN. Padahal, dalam kerangka ketatanegaraan, DPD RI memiliki peran penting dalam memberikan pertimbangan terhadap Rancangan Undang-undang yang berdampak pada daerah.
“Ketidakterlibatan DPD ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap mekanisme legislasi yang seharusnya inklusif dan melibatkan berbagai unsur terkait,” kata Haikal.
Dalil keempat menyoroti Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) yang juga tidak dilibatkan dalam proses pembentukan Undang-undang tersebut. Padahal, terang Haikal, lembaga yang dibentuk yakni Danantara akan mengelola dana publik dalam jumlah besar.
Dalil kelima menyatakan UU BUMN tidak memiliki validitas atau legitimasi hukum karena menyimpang dari ketentuan dalam UUD 1945.
“Oleh karena itu, UU BUMN ini dinilai tidak layak diberlakukan dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” tandasnya.
Berdasarkan sejumlah argumen tersebut, para pemohon dalam permohonan provisi meminta kepada MK untuk menunda pelaksanaan UU BUMN hingga terdapat putusan akhir terhadap pokok perkara.
Penundaan tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi kerugian konstitusional yang lebih besar akibat diterapkannya Undang-undang yang legalitasnya masih disengketakan.