Pada musim kemarau, kata BMKG, jarang terjadi hujan dan tutupan awan berkurang. Hal ini menyebabkan panas permukaan bumi akibat radiasi Matahari lebih cepat dan lebih banyak yang dilepaskan kembali ke atmosfer berupa radiasi balik gelombang panjang.
Kemudian, curah hujan yang kurang juga menyebabkan kelembapan udara juga rendah yang berarti uap air di dekat permukaan bumi juga sedikit.
Bersamaan dengan kondisi langit yang cenderung bersih dari awan, maka panas radiasi balik gelombang panjang ini langsung dilepaskan ke atmosfer luar. Hal tersebut membuat udara dekat permukaan terasa lebih dingin, terutama pada malam hingga pagi hari.
“Kondisi ini umum terjadi pada wilayah Indonesia dekat khatulistiwa hingga bagian utara. Pada wilayah ini, meski pagi hari cenderung lebih dingin namun pada siang hari udara akan terasa lebih panas,” jelas BMKG.
“Hal ini karena ketiadaan awan dan juga kurangnya uap air saat musim kemarau menyebabkan radiasi langsung matahari akan lebih banyak pula yang mencapai permukaan bumi,” lanjutnya.
Sementara itu, wilayah selatan Indonesia seperti Sumatera Selatan, Jawa Bagian Selatan hingga Bali, NTT dan NTB pada siang hari suhu udara juga akan lebih rendah dari suhu udara periode bulan lainnya.
Fenomena ini disebut cukup terasa pada bulan Juli di mana pada periode tersebut angin timuran atau monsun Australia yang kering mengalir melewati wilayah-wilayah tersebut.
“Pada bulan Juli juga merupakan puncak musim dingin Australia sehingga udara dinginnya mengintrusi masuk wilayah Jawa Bagian Selatan hingga Bali, NTT dan NTB,” tutur BMKG.