Hakim mengatakan perampasan aset perlu diterapkan supaya memberikan efek jera.
“Bahwa perampasan aset juga bertujuan untuk memberikan efek jera atau efek yang optimal, di mana jika pelaku korupsi diizinkan untuk tetap menikmati hasil kejahatan setelah menjalani pidana penjara, maka hal tersebut tidak memberikan efek pencegahan yang efektif,” ungkap hakim.
“Menimbang berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, majelis hakim menetapkan status barang bukti sesuai tuntutan Penuntut Umum di mana aset hasil gratifikasi dirampas untuk negara, dokumen dan barang bukti elektronik yang relevan digunakan dalam perkara lain, sedangkan dokumen pribadi dan administrasi aktif tetap terlampir dalam berkas perkara serta rekening terdakwa tetap diblokir untuk pembuktian TPPU,” pungkas hakim.
Zarof dihukum dengan pidana 16 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Putusan tersebut lebih ringan daripada tuntutan jaksa yang ingin Zarof dihukum dengan pidana 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Baik Zarof maupun jaksa menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut, membuat perkara belum memperoleh kekuatan hukum mengikat atau inkrah.
Zarof dinilai telah terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama pengacara Gregorius Ronald Tannur, Lisa Rachmat, untuk memberi atau menjanjikan sesuatu berupa uang sejumlah Rp5 miliar kepada ketua majelis kasasi MA hakim agung Soesilo.
Upaya tersebut dengan maksud untuk mempengaruhi hakim yang mengadili perkara kasasi untuk menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur sebagaimana putusan PN Surabaya Nomor: 454/Pid.B/2024/PN.Sby tanggal 24 Juli 2024.