Orasi.id – Ada kalanya, sebuah lagu bukan hanya sekadar rangkaian nada dan kata, melainkan juga potret buram realita yang terjal. “Tunggu Ayah Pulang” dari Sonaswara adalah salah satunya. Lebih dari sekadar alunan musik, lagu ini adalah narasi pilu tentang seorang ayah, tentang kehilangan, tentang perjuangan mencari nafkah, dan tentang kekuatan cinta keluarga yang tak pernah pudar.

Lirik lagu ini bagai untaian kalimat yang keluar dari relung hati yang terdalam. Bait pertama langsung membawa kita pada atmosfer keputusasaan: “Bulan-bulan kelam menghapus harapan/Pekerjaan hilang, tinggal beban dan kenangan/Motor tua jadi tumpuan/Jalanan jadi rumah harian.” Kita bisa merasakan beratnya hari-hari yang dilalui, ketika pekerjaan yang menjadi sandaran hidup lenyap, dan satu-satunya harapan kini bertumpu pada motor tua, yang mau tak mau harus menjadi “rumah harian” di kerasnya jalanan.

Verse kedua melanjutkan lukisan kesulitan tersebut: “Langit tak selalu biru/Setiap pesanan kutunggu/Peluh mengganti waktu/Yang harusnya untukmu.” Ada pengorbanan yang terasa getir di sini. Waktu yang seharusnya bisa dihabiskan bersama keluarga, terutama sang anak, harus diganti dengan tetesan peluh di jalanan, demi mencari sesuap nasi.

Namun, di tengah kegelapan, secercah cahaya muncul dalam pre-chorus: “Tak sekali ingin menyerah/Namun suaramu, Nak, menahan langkah/’Kapan Ayah pulang?’ lirihmu/Membuat dunia kembali penuh.” Pertanyaan sederhana dari seorang anak, kerinduan akan kehadiran ayahnya, menjadi jangkar yang menahan sang ayah dari keputusasaan. Lirihan polos itu justru mampu mengisi kembali kehampaan dunia yang sempat merundungnya.

Kemudian, chorus hadir sebagai peneguhan janji dan harapan: “Tunggu Ayah pulang, meski malam panjang/Ayah titip rindu di angin pulang/Meski roda tak selalu berjalan/Ayah tetap pulang, dengan hati yang tak pernah hilang.” Ada keteguhan dalam setiap katanya. Meski tantangan menghadang (“roda tak selalu berjalan”), tekad untuk pulang dan kasih sayang (“hati yang tak pernah hilang”) menjadi kompas dalam perjalanannya.

Verse ketiga kembali menguji ketahanan: “Maret menguji imanku/Motor hilang, nafkah pun bisu/Namun pelukmu jadi restu/Yang membangkitkan langkah yang layu.” Kehilangan motor, alat utama untuk mencari nafkah, adalah pukulan yang sangat berat. Namun, pelukan sang anak digambarkan sebagai “restu,” sebuah sumber kekuatan yang mampu menghidupkan kembali semangat yang hampir padam.

Bridge lagu ini menyentuh esensi yang lebih dalam: “Bukan tentang jarak dan waktu/Tapi janji ayah yang selalu satu/Selama ada kamu dan ibumu/Ayah takkan pergi tanpa arah tujuan itu.” Ini bukan sekadar soal fisik untuk kembali ke rumah, tetapi tentang komitmen seorang ayah kepada keluarganya, yang menjadi tujuan utama dalam setiap langkahnya.

Pengulangan chorus dan outro semakin memperkuat pesan utama lagu ini. Di tengah kesulitan (“walau hujan datang,” “meski dunia tak beri kemudahan”), cinta seorang ayah kepada anaknya adalah kekuatan yang tak pernah padam. Akhir lagu yang lirih, “Tunggu Ayah pulang, Nak/Bukan janji, ini tekad yang tak retak/Ayah pulang…/Meski hanya dengan hati yang remuk namun utuh untukmu,” terasa sangat menyentuh. Ada kejujuran yang pahit namun tulus di sana. Seorang ayah mungkin pulang dengan lelah dan hati yang terluka oleh kerasnya kehidupan, namun cintanya untuk keluarga tetap utuh.

Tunggu Ayah Pulang” bukan hanya lagu, melainkan sebuah cerminan kehidupan nyata yang dialami banyak orang. Melalui kesederhanaan lirik dan melodi yang menyentuh, Sonaswara berhasil menyampaikan kisah tentang ketahanan, pengorbanan, dan cinta yang menjadi pilar kekuatan di tengah kesulitan. Sebuah lagu yang patut direnungkan.