Oleh: Anis Noviya (Mahasiswa Megister Ilmu Hukum Universitas Jambi) 

Anak bukan sekadar penerus bangsa, melainkan penentu arah masa depan peradaban. Namun, ketika negara gagal melindungi anak dari ancaman terhadap kehidupan, kesehatan, dan tumbuh kembangnya, maka yang sesungguhnya tercederai adalah masa depan itu sendiri. Dalam konteks inilah perlindungan anak atas hak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang tidak bisa hanya menjadi slogan normatif, melainkan harus diwujudkan sebagai amanah konstitusi yang wajib dilindungi, dihormati, dan dipenuhi oleh negara.

Di Indonesia, pengakuan atas hak anak telah ditegaskan dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Rumusan ini menempatkan hak anak sebagai bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin oleh negara. Pengakuan konstitusional ini diperkuat dengan berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah beberapa kali diubah, dan juga dengan komitmen internasional melalui ratifikasi Konvensi Hak Anak (CRC) oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1990.

Meski secara normatif kerangka hukum perlindungan anak di Indonesia tergolong progresif, dalam praktiknya pelaksanaan hak anak masih jauh dari ideal. Kasus kekerasan terhadap anak, eksploitasi anak, pernikahan dini, gizi buruk, dan kematian anak akibat kurangnya akses layanan kesehatan masih banyak terjadi. Realitas ini menandakan adanya kesenjangan antara teks konstitusi dengan kondisi faktual di lapangan. Negara, baik melalui kebijakan maupun kelembagaan, seringkali gagal memastikan bahwa setiap anak Indonesia benar-benar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang secara optimal dalam lingkungan yang sehat, aman, dan mendukung.

Fenomena ketimpangan ini diperparah oleh situasi sosial-ekonomi masyarakat yang belum merata. Anak-anak dari kelompok miskin, terpencil, atau minoritas sangat rentan terhadap pengabaian, diskriminasi, dan kekerasan struktural. Misalnya, dalam konteks pandemi COVID-19, ribuan anak kehilangan akses pendidikan dan layanan kesehatan dasar. Di sisi lain, kasus pernikahan anak justru meningkat, menunjukkan lemahnya pengawasan negara terhadap praktik yang jelas-jelas menghambat hak tumbuh dan berkembang anak. Ketika negara membiarkan praktik ini berlangsung tanpa penegakan hukum yang tegas, maka sesungguhnya negara telah gagal memenuhi mandat konstitusionalnya.

Sebagai hak yang bersifat non-derogable (tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun), hak anak atas hidup dan tumbuh kembang seharusnya menjadi prioritas dalam setiap kebijakan pembangunan nasional. Perlindungan anak tidak bisa sekadar dimaknai sebagai program sosial, tetapi sebagai kewajiban konstitusional yang berdimensi hukum. Negara wajib hadir secara nyata, bukan hanya dengan menyediakan regulasi, tetapi juga melalui anggaran, infrastruktur, pendidikan, dan penguatan institusi yang mendukung perlindungan anak secara komprehensif.

Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan sejumlah langkah konkret. Antara lain: 

  • Negara harus memperkuat integrasi kebijakan lintas sektor yang menyasar langsung pemenuhan hak anak, mulai dari layanan kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, hingga peradilan ramah anak.
  • Perlu dilakukan reformasi anggaran yang berperspektif anak, dengan memastikan bahwa alokasi APBN dan APBD benar-benar menyentuh aspek kehidupan anak-anak di wilayah paling rentan.
  • Pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran hak anak harus ditingkatkan, termasuk melalui unit khusus di kepolisian dan kejaksaan yang fokus pada kejahatan terhadap anak.
  • Partisipasi masyarakat, keluarga, dan lembaga pendidikan dalam menjaga hak anak juga harus ditumbuhkan, sebab perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama yang tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada negara.

Negara yang gagal melindungi anak-anaknya bukan hanya gagal secara hukum, tetapi juga gagal secara moral dan peradaban. Konstitusi bukan hanya janji hukum yang tertulis di atas kertas, tetapi komitmen nyata untuk memastikan bahwa setiap anak tanpa kecuali memiliki hak yang utuh untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi dalam masyarakat. Maka, menjaga dan memenuhi hak anak bukan hanya soal kepatuhan terhadap norma hukum, tetapi merupakan bentuk keberpihakan pada masa depan bangsa yang berkeadilan, berkeadaban, dan berkelanjutan.