Namun, antivenom ini biasanya hanya efektif untuk gigitan dari spesies ular tertentu-dan mengandung antibodi lain dari kuda yang dapat menyebabkan efek samping serius, termasuk syok anafilaksis.
“Saya berpikir, kalau mereka bisa membuat antivenom dari kuda, kenapa saya tidak bisa menggunakan diri saya sendiri sebagai primata?” kata Friede.
Dia mulai menguji racun dari semua spesies mematikan yang bisa dia dapatkan, seperti kobra, taipan, black mamba, dan ular derik.
“Ada rasa sakit setiap kali,” katanya.
Kolaborasi dengan ilmuwan
Selama bertahun-tahun, para ilmuwan yang dia hubungi untuk memanfaatkan kekebalannya menolak untuk bekerja sama.
Namun, pada tahun 2017, keinginan Friede untuk berkolaborasi dengan ilmuwan terwujud lewat sosok Jacob Glanville, ahli imunulog asal AS.
Glanville sebelumnya mengembangkan vaksin universal, namun mengalihkan perhatiannya ke antivenom. Glanville bercerita kolaborasi itu bermula ketika dia sedang mencari seorang peneliti ular amatir yang secara tidak sengaja digigit ular beberapa kali.
Ia lalu menemukan video Friede digigit ular berturut-turut secara brutal. Saat keduanya akhirnya berkomunikasi, Glanville mengatakan bahwa dia mengiginkan sampel darah Friede.
“Saya sudah menunggu panggilan ini sejak lama,” jawab Friede.
Antivenom yang dijelaskan dalam jurnal Cell mencakup dua antibodi dari darah Friede, serta obat bernama varespladib.
Penelitian ini memberikan perlindungan penuh terhadap 13 dari 19 spesies ular yang diuji, dan perlindungan sebagian untuk enam spesies sisanya.