Menurut dia, Pasal 3 UU Tipikor memuat frasa “setiap orang” yang dapat mengingkari esensi dari korupsi itu sendiri. Sebab, tidak setiap orang memiliki kekuasaan yang cenderung korup.
Ketentuan tersebut telah menegaskan ada jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
“Kesimpulannya adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Tipikor kalau saya berpendapat untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asaslex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi,” tutur mantan Wakil Ketua KPK periode 2007-2009 ini.
“Kemudian yang kedua, merevisi Pasal 3 Undang-undang Tipikor dengan mengganti, menyesuaikan dengan Article 19 UNCAC yang sudah kita jadikan norma, ‘Setiap Orang’ diganti dengan ‘Pegawai Negeri’ dan ‘Penyelenggara Negara’ karena itu memang ditujukan untuk Pegawai Negeri dan kemudian menghilangkan frasa ‘yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara’ sebagaimana rekomendasi UNCAC,” sambung Chandra.
Selain dia, pemohon perkara nomor: 142/PUU-XXII/2024 ini juga menghadirkan Ahli Keuangan Amien Sunaryadi yang juga mantan Wakil Ketua KPK periode 2003-2007.
Amien mengutip kesimpulan data survei yang menyatakan jenis korupsi paling banyak di lapangan adalah suap. Sedangkan, kata dia, aparat penegak hukum di Indonesia lebih fokus mengejar korupsi jenis merugikan keuangan negara.
“Cara kerja aparat penegak hukum dan juga pemeriksa keuangan tidak akan menjadikan Indonesia bebas dari korupsi, karena korupsi yang paling banyak adalah suap, korupsi yang ditulis di Undang-undang yang berlaku di Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah suap, tapi yang dikejar-kejar yang merugikan keuangan negara,” kata Amien.