JakartaYour sacrifice is our present and future, begitu tulisan salah satu sel di Seodaemun Prison History Hall, Korea Selatan.

Bangunan serba kemerahan ini berada di Seoul dan menjadi simbol penindasan warga Korsel di bawah kekuasaan kolonial Jepang serta kediktatoran pasca kemerdekaan.

Saya menjelajahi bangunan itu pada Selasa (27/5). Di tempat ini, pasukan Jepang memenjarakan para aktivis kemerdekaan termasuk pejuang perempuan Korsel.

Memasuki gerbang, saya disambut bangunan kemerahan dan lapangan dengan rumput yang begitu terawat. Setelah membayar tiket seharga 3000 won atau sekitar Rp35.000, semilir angin turut menyapa meski saat itu panas cukup terasa. Lyrical dan dingin, mungkin frasa yang tepat menggambarkan suasana di sana.

Langkah kaki ini lalu begitu saja menuju bangunan di sebelah kiri. Gedungnya kecil, dan terdiri dari beberapa sel.

Para perempuan tangguh Korsel

Ada salah satu sel yang ditandai dan diberi nomor 8. Sel itu menjadi tempat aktivis yang namanya kini berperan penting dalam kemerdekaan Korea, Yu Gwan Sun. Di sana, dia ditempatkan bersama tujuh orang lain.

Yu sangat terkenal karena peran dia di Chungcheong dalam menentang Jepang. Ia terlibat demonstrasi beberapa kali. Perempuan ini juga sempat mengetuk pintu setiap rumah untuk meminta masyarakat bergabung menolak pendudukan negara tetangganya.

Kembali lagi ke sel di Seodaemun Prison History Hall, salah satu aktivis yang dibui bersama Yu adalah Lim Myeong Ae. Saat dijebloskan ke penjara, Lim sedang hamil dan terpaksa melahirkan dalam sel.

“Musim dingin di penjara sel nomor 8 betul-betul membuat dia [Lim] kesulitan mengurus bayinya, Yu lalu berbagi makanna yang hanya sedikit itu dengannya [Lim],” demikian tulisan dalam papan informasi di sel tersebut. Membaca kalimat itu secara tak sadar membuat air mata saya mengalir.

Yu juga digambarkan memiliki hati yang hangat dan sosok penyayang. Namun, usia dia tak panjang.

Pada 1 Maret 1920, Yu Gwan Sun merencanakan protes skala besar dengan narapidana lain. Rencana ini terendus pasukan kolonial, Yu lalu diasingkan di sel terpisah dan mengalami siksaan berat.

Gerakan 1 Maret menjadi penting lantaran di hari itu pada 1919, para demonstran Korea mendeklarasikan kemerdekaan kepada dunia dan menuntut pembebasan Jepang. Negeri Sakura menginvasi Korea pada 1592-1598 dan pada 1910 hingga 1945.

Dalam papan informasi di dekat bangunan tertera ada ruangan bawah tanah yang disebut-sebut menjadi sel Yu. Namun, tak ada bukti lebih lanjut. Di dalam sel memang ada semacam ruangan yang kecil tertutup kaca. Pengunjung tak diizinkan menginjak kaca demi keamanan dan menjaga keasliannya.

Yu dilaporkan meninggal pada 28 September 1920 akibat penyiksaan dan pemukulan di penjara.

Perjuangan Yu untuk memerdekakan Korsel menjadi suluh dan sejarah. Ia banyak dikenang dan tentu dihormati. Di bangunan ini juga terdapat satu ruangan yang berisi patung Yu Gwan Sun dalam lemari dengan kaca hitam.

Saat saya melintas di depan ruangan itu tampak seperti ada bayangan hitam, setelah mendekat ternyata patung Yu yang dibingkai dalam kaca. Karya itu buatan Kim Seo Kyung pada 2013.

Bangunan sel perempuan di museum ini juga memaparkan perlawanan perempuan dari 1910 hingga 1940.

Perempuan Korsel pernah memiliki organisasi kemerdekaan paling kuat pada 1927 yang disebut Geunuhoe. Kelompok ini fokus untuk membela perempuan, mencapai kemerdekaan secara penuh, hingga mewujudkan pembebasan perempuan. Mereka kerap berkoordinasi dengan sekolah-sekolah perempuan.

Geunuhoe juga aktif di bidang pendidikan dan mendirikan sekolah malam demi mengurangi buta huruf di kalangan perempuan.

Di era kolonialisme, para perempuan Korsel harus berjuang dalam dua front: melawan diskriminasi gender dan memperjuangkan kemerdekaan. Menurut laporan, mereka secara aktif berpartisipasi dalam gerakan kemerdekaan 1 Maret Samil Undong dan Uiyeoldan serta bergabung dengan Gerakan Pembangunan Partai Komunis.

Perempuan-perempuan itu hanyalah warga biasa seperti mahasiswi, perawat, dan pekerja. Kemudian pada 1929, Gerakan Kemerdekaan Mahasiswa mulai merebak termasuk di Gwangju dan Seoul.

Setelah menyusuri bangunan tahanan perempuan, saya berlanjut ke gedung para tahanan lain. Bangunannya lebih panjang dan besar.

Suasana muram bercampur kemarahan menguar selama saya menyusuri ruang ini. Muram sebab ini adalah penjara dan marah karena suara para aktivis ini dibungkam serapat-rapatnya.

Merasa cukup dengan ruangan sel itu, saya lanjut keluar dan melihat sekitar. Di dekat bangunan penjara tampak bendera Korea ukuran besar menempel. Di depannya lapangan yang kerap menjadi halaman utama museum.

Selain itu, ada pula semacam penampungan air yang menjadi alat menyiksa tahanan. Menurut laporan ada 100 metode penyiksaan yang dilakukan Jepang dan paling terkenal penyiksaan di peti mati berdiri.

Asa aktivis di pohon ratapan

Saya lanjut menelusuri tempat eksekusi narapidana. Cat putih yang mengelupas dan kemerahan bara tampak di bangunan eksekusi.

Persis di samping gedung eksekusi terdapat pohon ratapan atau yang disebut wailing poplar tree. Para aktivis yang akan dieksekusi kerap meratapi dan memeluk pohon itu karena sedih Korea tak kunjung merdeka.

Namun, saat saya ke sana pohon itu sudah ditebang. Hanya ada batang pohon dengan warna coklat tua kehitaman di samping gedung nyaris serba putih. Perpaduan warna yang begitu kontras. Area ini menyiratkan begitu banyak kesedihan, tragedi, dan sisa-sisa harapan seujung jari.

Tak jauh dari gedung tersebut, ada pohon yang mungkin baru beberapa tahun lalu ditanam. Batang pohon tak setebal pohon yang sudah ditebang dan belum terlalu rimbun.

Saya juga menelusuri ruangan eksekusi itu. Di sini, pengunjung tak boleh mengambil gambar, atau berisik. Ruangan eksekusi mirip ruangan persidangan. Ada dua kursi panjang, satu hadap ke depan dan satu lagi di sebelah kanan.

Di dalam ruangan itu tampak pula pagar pembatas dari kayu. Di depan pagar pembatas ini tergantung tali dan tepat di bawahnya meja dengan ukuran kecil.

Di belakang ruang eksekusi itu, terdapat lorong gelap dan panjang yang pakai untuk membuang para narapidana setelah dieksekusi.

Semangat juang dalam mangkuk

Di Seodaemun Prison History Hall juga terdapat monumen memorial Gedensktein/Denkma atau dikenal bowl of national spirit.

Tugu peringatan tersebut menghormati para pejuang yang gugur di Penjara Seodaemun saat melawan penjajahan Jepang. Nama 165 pejuang yang gugur terukir di mangkuk itu.

“[Ini] mengungkapkan harapan bahwa semangat dan keyakinan patriotik mereka harus menjadi kekuatan pendorong untuk memetakan masa depan yang lebih baik bagi bangsa ini,” demikian tulisan dalam papan informasi untuk menjelaskan tugu ini.

Tak cuma masa penjajahan Jepang, di museum ini juga terdapat semacam banner soal peristiwa Gwangju Uprising, perlawanan masyarakat dan warga di sana terhadap pemerintahan yang diktator pasca kemerdekaan.

Bagi saya Seodaemun Prison History Hall menjadi semacam pengakuan Korea Selatan terhadap masa kelam termasuk kekerasan terhadap warga sipil yang terjadi setelah merdeka. Ini juga menjadi alat rekonsiliasi bangsa untuk memetakan masa depan.

Museum ini juga berbicara soal pengorbanan, ketahanan dan keberanian yang membentuk Korea Selatan menjadi seperti sekarang.

Penjara Seodaemun nyaris diratakan dengan tanah pada 1987 usai pusat penahanan Seoul dipindah ke Uliwang Provinsi Gyeonggi. Namun, keturunan aktivis dan pejuang kemerdekaan, akademisi, hingga sejarawan menolak pembongkaran itu. Mereka bersikukuh situs tersebut perlu dilestarikan untuk mengenang penindasan Jepang dan semangat perlawanan Korea.

Sebagaimana kata manajer umum Seodaemun Prison History Hall Lee Seung Yun, tempat ini lebih dari sekadar lokasi yang memperingati gerakan kemerdekaan Korea, tetapi ruang untuk memberi tahu seluruh dunia tentang martabat manusia.

Di Seodaemun Prison History Hall Juga Ada Gedensktein/Denkma