Bangunan sel perempuan di museum ini juga memaparkan perlawanan perempuan dari 1910 hingga 1940.

Perempuan Korsel pernah memiliki organisasi kemerdekaan paling kuat pada 1927 yang disebut Geunuhoe. Kelompok ini fokus untuk membela perempuan, mencapai kemerdekaan secara penuh, hingga mewujudkan pembebasan perempuan. Mereka kerap berkoordinasi dengan sekolah-sekolah perempuan.

Geunuhoe juga aktif di bidang pendidikan dan mendirikan sekolah malam demi mengurangi buta huruf di kalangan perempuan.

Di era kolonialisme, para perempuan Korsel harus berjuang dalam dua front: melawan diskriminasi gender dan memperjuangkan kemerdekaan. Menurut laporan, mereka secara aktif berpartisipasi dalam gerakan kemerdekaan 1 Maret Samil Undong dan Uiyeoldan serta bergabung dengan Gerakan Pembangunan Partai Komunis.

Perempuan-perempuan itu hanyalah warga biasa seperti mahasiswi, perawat, dan pekerja. Kemudian pada 1929, Gerakan Kemerdekaan Mahasiswa mulai merebak termasuk di Gwangju dan Seoul.

Setelah menyusuri bangunan tahanan perempuan, saya berlanjut ke gedung para tahanan lain. Bangunannya lebih panjang dan besar.

Suasana muram bercampur kemarahan menguar selama saya menyusuri ruang ini. Muram sebab ini adalah penjara dan marah karena suara para aktivis ini dibungkam serapat-rapatnya.

Merasa cukup dengan ruangan sel itu, saya lanjut keluar dan melihat sekitar. Di dekat bangunan penjara tampak bendera Korea ukuran besar menempel. Di depannya lapangan yang kerap menjadi halaman utama museum.

Selain itu, ada pula semacam penampungan air yang menjadi alat menyiksa tahanan. Menurut laporan ada 100 metode penyiksaan yang dilakukan Jepang dan paling terkenal penyiksaan di peti mati berdiri.