Senada, Kepala Center Makroekonomi dan Keuangan INDEF M Rizal Taufikurahman mengatakan skema KPBU pada dasarnya dimaksudkan sebagai jembatan antara keterbatasan fiskal negara dan kebutuhan pembangunan infrastruktur nasional.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa KPBU lebih menyerupai labirin birokrasi ketimbang kolaborasi simbiosis. Kesannya, KPBU hanya medium transfer beban anggaran, tetapi tanpa didukung jaminan hukum yang pasti.

“Skema ini sering membebankan risiko terlalu berat di pundak swasta. Mulai dari risiko permintaan, teknis, hingga ketidakpastian politik yang tidak di-cover memadai oleh mekanisme jaminan pemerintah. Alih-alih menjadi ekosistem kolaboratif, KPBU terperangkap dalam logika ‘transfer beban fiskal”, bukan ‘bagi untung risiko’,” katanya.

Di sisi lain, pemerintah daerah sering tak punya kapasitas fiskal dan komitmen politik untuk mendukung keberlanjutan proyek. Akumulasi ini membuat swasta menilai bahwa risiko mereka tak hanya finansial, tetapi juga institusional.

“Artinya secara kombinasi yang tidak akan dilirik oleh investor yang rasional,” katanya.

Rizal memandang swasta juga berhadapan dengan lanskap kompetisi yang timpang akibat dominasi BUMN dalam proyek strategis nasional. BUMN punya privilege berupa akses modal murah, political access yang kuat, dan buffer risiko yang tak dimiliki pelaku usaha non-pemerintah.

“Dalam situasi seperti itu, swasta terperangkap dalam relasi yang subordinatif, selalu berada di sisi lemah,” katanya.

Seabrek Risiko: Finansial, Institusional hingga Privilese BUMN