Achmad mengingatkan keluhan pengusaha tersebut tidak boleh dianggap angin lalu, karena berpotensi mengganggu kelanjutan agenda pembangunan infrastruktur nasional. Apalagi APBN tidak memiliki ruang fiskal yang cukup luas untuk membiayai sendiri megaproyek infrastruktur.
“Jika tren ini berlanjut dan sektor swasta semakin enggan terlibat dalam proyek infrastruktur, kita menghadapi risiko sistemik yang serius,” katanya.
Menurutnya, tanpa keterlibatan swasta, pembangunan infrastruktur bisa terganggu. Padahal infrastruktur bukan hanya soal pembangunan fisik, tapi juga urat nadi pertumbuhan ekonomi. Ketika jalan tak terbangun maka distribusi barang terhambat. Begitu pula jika pelabuhan mangkrak maka ekspor jadi mandek dan jika pembangunan bendungan tertunda maka lahan pertanian bisa kekeringan.
Achmad menilai masalah utama KPBU bukan sekadar pada aturan yang rumit, melainkan pada kepercayaan yang terkikis. Karenanya, pemerintah perlu membangun ulang fondasi kepercayaan dengan mitra swasta.
Pertama, pemerintah perlu membuka proses perencanaan dan evaluasi proyek secara transparan, termasuk pembagian risiko dan proyeksi pengembalian.
“Kedua, perlu ada konsistensi kebijakan. Jangan sampai proyek yang dimulai dengan satu regulasi tiba-tiba harus patuh pada regulasi baru di tengah jalan,” katanya.
Ketiga, pemerintah perlu memberikan insentif fiskal dan jaminan yang realistis agar swasta tidak merasa bermain di medan yang tidak seimbang.
[Gambas:Photo CNN]
“Mengundang swasta masuk proyek pemerintah tidak boleh hanya dimaknai sebagai upaya ‘meminjam uang’ mereka, tapi harus dilihat sebagai kerja sama strategis demi kepentingan bangsa,” katanya.